Suara.com - Lembaga Sensor Film (LSF) menjadi salah satu pihak yang disorot, karena meloloskan film animasi Merah Putih: One For All. Film yang tengah viral karena kualitasnya di bawah standar, tetapi tetap lolos bioskop.
Ada kecurigaan lolosnya Merah Putih: One For All tayang di bioskop, sementara 200 film lainnya ngantre, karena ada lobi-lobi khusus yang melangkahi antrean normal.
Ramai isu ini, LSF akhirnya angkat bicara. Ketua LSF RI, Naswardi menegaskan bahwa pihiaknya tidak memiliki wewenang untuk menilai bagus atau tidaknya sebuah film yang masuk ke meja sensor.
"Jadi, kami di Lembaga Sensor Film tidak diberikan kewenangan baik itu melalui Peraturan Menteri, Peraturan Pemerintah, ataupun Undang-Undang untuk menilai kualitas," kata Naswardi, ditemui di sela kegiatan jumpa pers Anugerah LSF 2025 di kawasan Dharmawangsa, Jakarta, pada Rabu, 13 Agustus 2025.
Menurut Naswardi, penentuan mutu sebuah karya sinema, entah itu berkualitas tinggi, sedang, atau bahkan buruk, sepenuhnya merupakan ranah para kritikus film dan penonton.
"Nah, itu rating penilaian rendah, tinggi, buruk, sedang, jelek, itu yang bisa memberikan adalah kritikus film ataupun penonton dari film itu sendiri," ujarnya.
Alih-alih menjadi juri kualitas, lembaga negara ini bertugas untuk meneliti dan mengklasifikasikan setiap film berdasarkan golongan usia penonton yang sesuai.
"Jadi, kami tetapkan dari semua yang aspek yang kami nilai, menjadi film untuk semua umur, film untuk 13 tahun ke atas, film untuk dewasa 17 tahun ke atas, dan juga film untuk dewasa 21 tahun ke atas," ucap Naswardi.
Baca Juga: Penuh Kritikan, Apakah Film Merah Putih One for All Batal Tayang di Bioskop?
Naswardi kemudian membeberkan bahwa proses penyensoran di lembaganya selalu berpegang pada dua kriteria penilaian utama.

"Yang pertama disebut dengan acuan utama, kemudian yang kedua disebut dengan acuan pendukung. Di acuan utama itu terdiri dari tiga aspek yaitu tema, kemudian yang kedua konteks, dan yang ketiga adalah nuansa dan dampak," imbunya.
Lebih terperinci, ia juga menjelaskan ada enam unsur spesifik yang menjadi "lampu merah" dalam setiap dialog, monolog, maupun adegan sebuah film.
"Yang pertama, apakah dialog, monolog, adegan itu mengandung praktik atau unsur kekerasan? Apakah mengandung unsur yang berkaitan dengan pornografi? Apakah dialog, monolog, adegan itu berkaitan dengan visualisasi yang menjelaskan atau secara eksplisit menggambarkan tentang penggunaan atau peredaran narkotika?," ucap Naswardi.
Selain tiga hal tersebut, LSF juga sangat teliti dalam melihat ada tidaknya unsur perendahan harkat dan martabat kemanusiaan, pelecehan terhadap agama, hingga penggambaran perbuatan yang melawan hukum.
"Kemudian, apakah di dalam cerita film itu dialog monolognya, kemudian adegannya mengandung perendahan terhadap harkat martabat kemanusiaan? Merendahkan suku, agama, perempuan, diskriminasi terhadap kelompok tertentu ya, termasuk perendahan, pelecehan terhadap agama," tutur Naswardi.