Suara.com - Air mata Raffi Ahmad yang pecah di studio televisi bukan hanya ungkapan duka, tetapi juga pintu menuju sebuah fenomena yang seringkali kita anggap mistis firasat.
Pengakuannya tentang perasaan aneh dan tidak biasa yang ia rasakan terhadap Mpok Alpa sesaat sebelum wafat, memicu pertanyaan mendasar.
Apakah firasat hanyalah kebetulan?
Ataukah ada penjelasan logis di balik kemampuan kita merasakan sesuatu akan terjadi pada orang terdekat?
Jawabannya mungkin tidak terletak pada dunia gaib, melainkan pada kehebatan organ paling kompleks yang kita miliki otak manusia.
Kisah Raffi dan Mpok Alpa bisa menjadi studi kasus menarik untuk membedah cara kerja intuisi dan koneksi batin dari sudut pandang psikologi.
Apa yang disebut Raffi sebagai firasat sebenarnya bisa dijelaskan sebagai puncak dari pemrosesan data oleh alam bawah sadar.
Anggaplah otak kita sebagai superkomputer yang terus-menerus mengumpulkan dan menganalisis data, bahkan saat kita tidak menyadarinya.
Dalam kasus ini, data yang diproses adalah pola kebiasaan Mpok Alpa. Raffi menyebutkan "Biasanya dia (Mpok Alpa) yang paling heboh di grup WhatsApp, paling iseng, paling pertama balas, tapi ini kok sepi,"
Ini adalah data krusial. Bagi pikiran sadar Raffi, itu mungkin hanya berarti Mpok Alpa lagi sibuk.
Baca Juga: Ironi di Rumah Duka: Saat Artis Bersatu untuk Mpok Alpa, Gosip Receh Justru Menodai Kepergiannya
Namun bagi alam bawah sadarnya, ini adalah sebuah anomali sebuah pola yang rusak. Otak secara otomatis menandai penyimpangan ini dan mengirimkan sinyal ke pikiran sadar dalam bentuk perasaan gelisah atau tidak enak.
Ini bukanlah ramalan, melainkan hasil analisis pola perilaku yang sangat akurat menurut penjelasan dari Psikologis dilansir dari berbagai sumber.
Fenomena ini menjadi jauh lebih kuat ketika terjadi antara dua orang dengan ikatan emosional yang mendalam, seperti sahabat.
Psikologi mengenal ini sebagai bagian dari empathic accuracy atau kemampuan untuk secara akurat membaca pikiran dan perasaan orang lain.
Ketika kita sangat dekat dengan seseorang, "radar" kita menjadi sangat peka terhadap perubahan sekecil apa pun pada mereka.
Kita bisa merasakan perubahan mood hanya dari cara mereka mengetik pesan, jeda bicara mereka di telepon, atau pilihan emoji yang mereka gunakan.

Ini bukan telepati, melainkan hasil dari ribuan jam interaksi yang membuat otak kita menjadi ahli dalam membaca individu tersebut.
Koneksi Raffi dan Mpok Alpa, yang terbangun melalui interaksi intens setiap hari di lokasi syuting, memungkinkan otaknya untuk menjadi sangat "terkalibrasi" dengan kondisi normal Mpok Alpa.
Ketika ada sedikit saja perubahan, alarm internalnya berbunyi.
Peran 'Confirmation Bias' Mengapa Firasat Terasa Begitu Akurat?
Tentu saja, kita juga harus melihatnya dari sisi yang lebih skeptis. Para ahli psikologi mengingatkan adanya confirmation bias atau bias konfirmasi.
Artinya, kita cenderung mengingat dan memberi makna lebih pada firasat yang ternyata benar terjadi, dan melupakan ratusan firasat atau perasaan tidak enak lainnya yang ternyata tidak terbukti.
Setiap hari kita mungkin merasakan kegelisahan kecil, namun kita akan langsung melupakannya jika tidak ada kejadian besar yang mengikutinya.
Namun, ketika firasat itu seperti yang dialami Raffi secara tragis terkonfirmasi, otak kita akan menganggapnya sebagai bukti kuat adanya kemampuan supernatural.
Pada akhirnya, apa yang dialami Raffi Ahmad adalah sebuah persimpangan antara analisis data bawah sadar yang canggih dan ikatan emosional yang mendalam.
Firasatnya bukanlah pesan dari dunia lain, melainkan bukti paling kuat dari dalamnya sebuah persahabatan. Itu adalah sinyal dari otaknya yang berkata, Sesuatu yang berharga sedang berubah. Dan secara tragis, kali ini sinyal itu benar.