Ada Kritik Tersembunyi di Balik Tema JILF 2025 'Homeland in Our Bodies'

Jum'at, 14 November 2025 | 07:00 WIB
Ada Kritik Tersembunyi di Balik Tema JILF 2025 'Homeland in Our Bodies'
(kanan ke kiri) Avianti Armand, Direktur Eksekutif JILF; Bambang Prihadi, Ketua Dewan Kesenian Jakarta; Fadjriah Nurdiasih, Komite Sastra DKJ dalam konferensi pers JILF 2025 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat pada Kamis, 13 November 2025 [Suara.com/Rena Pangesti].
Baca 10 detik
  • JILF 2025 digelar di Taman Ismail Marzuki 13 hingga 16 November 2025
  • JILF 2025 angkat isu kemanusiaan
  • Program Bincang Penulis (Authors’ Forum) di JILF 2025 menghadirkan 23 penulis dari Indonesia dan 4 penulis mancanegara

Suara.com - Perhelatan sastra akbar, Jakarta International Literary Festival (JILF), kembali menyapa para penikmat literasi pada 13-16 November 2025 mendatang.

Bertempat di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, festival tahun ini mengusung tema puitis yang sarat makna, 'Homeland in Our Bodies' atau 'Tanah Air dalam Tubuh Kita'.

Namun, di balik keindahan frasa tersebut, tersimpan sebuah kegelisahan mendalam mengenai kondisi kemanusiaan saat ini.

Salah satu kurator JILF 2025, Kiki Sulistyo, membeberkan proses pemikiran di balik pemilihan tema yang ternyata berawal dari kritik terhadap realitas sosial dan politik.

Menurut Kiki, titik awal kuratorial adalah kata "kemanusiaan".

Sebuah konsep yang sering didengungkan, namun ironisnya kerap terpinggirkan dalam pengambilan keputusan-keputusan penting yang berdampak luas.

“Karena kita kemudian melihat situasi hari-hari belakangan ini kemanusiaan tampaknya tidak dijadikan pertimbangan gitu di dalam menentukan keputusan atau tindakan-tindakan besar,” ujar Kiki Sulistyo dalam konferensi pers di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat pada Kamis, 13 November 2025.

Tim kurator lantas menemukan benang merah bahwa krisis kemanusiaan yang terjadi belakangan ini tidak lahir dari ruang hampa. Ada faktor kuat yang menjadi pemicunya.

“Kemudian, kami juga menyimpulkan bahwa krisis kemanusiaan di yang kita lihat belakangan ini, itu lebih banyak disebabkan oleh keputusan-keputusan politik,” tegasnya.

Baca Juga: Terjebak dalam Kritik Diri, Saat Pikiran Jadi Lawan Terberat

Dari kegelisahan itulah, sebaris puisi dari sastrawan legendaris Palestina, Mahmud Darwish, dipilih untuk menjadi jangkar tema.

Puisi tersebut menawarkan cara pandang baru terhadap konsep "tanah air" yang selama ini kadung dibingkai oleh kekuasaan dan teritori.

Selama ini, makna tanah air sering kali dipersempit sebatas garis demarkasi dan kedaulatan politik semata.

“Kalau kita mendengar kata tanah air yang terbayang bahkan di benak kita paling itu batas-batas negara, batas-batas kekuasaan, batas-batas wilayah,” tutur Kiki.

Puisi Darwish, kata Kiki, mendobrak pemaknaan sempit itu dengan mengembalikan esensi tanah air ke dalam tubuh manusia itu sendiri.

Dengan demikian, isu tanah air menjadi tak terpisahkan dari isu kemanusiaan, karena keduanya bermuara pada entitas yang sama, manusia.

×
Zoomed

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI