"Penelitian tersebut sebenarnya mengharuskan pasien dan pasangan untuk bekerja sama, agar mereka bisa sembuh. Tapi, pada pasangan cukup bahagia sekalipun, mereka tetap akan mengucapkan komentar kritis dan rasa bermusuhan yang dapat mempengaruhi rasa sakit dan fungsi pasien," kata Burns.
Meski begitu, tim peneliti juga terkejut dengan bagaimana suami tampak benar-benar memperhatikan rasa sakit isteri selama diskusi dan akan menanyakan apakah tugas tersebut akan menyebabkan rasa sakit. Suami juga cenderung memberi saran bermanfaat kepada isterinya.
"Sangat mudah untuk merespon orang yang dicintai dengan mengabaikan perasan mereka, mengkritik, atau bereaksi dengan permusuhan atau penghinaan," kata Dr. Annmarie Cano dari Wayne State University di Detroit, yang juga tidak terlibat dalam penelitian ini.
Respon seperti ini memang sangat menyakitkan, tidak hanya secara psikologis tapi juga fisik.
Burns mengatakan timnya sedang mengembangkan sebuah rencana uji coba klinis secara acak untuk menguji intervensi pernikahan anti-kritik.
"Penelitian sampai saat ini menunjukkan bahwa jenis dukungan terbaik adalah terapi yang dapat membantu pasien menjalani kehidupan, meski mereka memiliki rasa sakit," kata Kevin Alschuler dari University of Washington di Seattle.
"Ini memerlukan keseimbangan, karena kehilangan jika tidak, ini bisa berkontribusi pada rasa sakit yang lebih besar, sedikit aktivitas, mood rendah dan kualitas hidup yang lebih rendah," tandasnya. (Huffingtonpost)
Baca Juga: Sering Masturbasi, Apakah Bisa Sebabkan Sakit Punggung?