"Tergantung kita mau bikin vaksin apa. Kalau bikin vaksin cancer, ya kita pakai antigen cancer. Dalam hal ini kita pakai antigen satu protein yang sudah disiapkan sedemikain rupa kemudian diperkenalkan ke sel dendritik," imbuhnya.
Sel dendritik merupakan bagian dari antigen presenting cell (APC) atau sel penyaji antigen. Kemudian APC tersebut akan menelan antigen berupa protein yang diberikan karena sel dendritik mengenalinya sebagai benda asing. Antigen akan dicerna dalam APC menjadi potongan-potongan kecil.
"Potongan itu akan dimunculkan kembali sebagai antigen bersama molekur lain yang membantu pengenalan. Antigen yang dimunculkan dalam sel dendritik itu nantinya, ketika sel dendritik sudah disuntikan kembali dalam tubuh orangnya, kemudian akan merangsang sel imun, karena ada antigen benda asing yang disajikan dipermukaan sel dendritik," paparnya.
Ia menegaskan bahwa penyuntikan vaksin tersebut harus diberikan kepada orang yang sama ketika diambil sel darah putihnya. Karena setiap sel manusia memiliki identitas masing-masinh.
Jika bukan kembar identik, maka sel apa pun yang dimasukan ke tubuh manusia yang berbeda tetap akan terjadi penolakan.
"Oleh karena itu kita menyebut vaksin dendritik ini vaksin individual. Dari orang tertentu kemudian diproses dan dimasukan ke orang yang sama agar tidak terjadi penolakan," ujarnya.
Lantaran sifatnya yang berupa terapi perorangan, menurut prof Amin, berdasarkan penelitian sel dendritik yang sudah pernah dilakukan diketahui membutuhkan biaya yang cukup besar.
"Saya tidak punya data terkait biayanya (penelitian Vaksin Nusantara), tapi kalau yang cancer itu biayanya cukup tinggi karena ada terapi yang sangat individual," kata prof. Amin.
Baca Juga: Ketua IDI: Dukungan Politikus ke Vaksin Nusantara Tak Ada Artinya