Langit Biru Tak Selalu Bebas Polusi, Ini Risiko Kesehatan yang Mengintai

Bimo Aria Fundrika Suara.Com
Rabu, 17 November 2021 | 13:32 WIB
Langit Biru Tak Selalu Bebas Polusi, Ini Risiko Kesehatan yang Mengintai
Ilustrasi polusi udara. (Elements Envato)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Selama ini masyarakat menganggap bahwa langit biru menjadi indikator bahwa udara di daerah tersebut sehat. Hal itu terungkap dalam Survei Katadata Insight Center (KIC) tentang Persepsi Masyarakat Terhadap Kualitas Udara di Indonesia.

Survei dilakukan pada 23 – 29 Agustus 2021 terhadap 1.570 warga Jabodetabek secara online. Menurut Panel Ahli Katadata Insight Center, Mulya Amri, dalam keterangannya, dari hasil survei terungkap sebanyak 45,9 persen warga Jabodetabek masih menganggap warna langit biru cerah sebagai indikator udara bersih.

Hanya 15,4 persen yang menggunakan alat pemantau atau aplikasi sebagai rujukan untuk mengetahui kualitas udara. Sementara pengetahuan lebih dalam dan jauh, misal mengenai PM 2,5 masih sangat minim diketahui (22,1 persen).

Divonis Melawan Hukum soal Polusi Udara, Anies Pamer Foto Langit Biru Jakarta. (Instagram Anies)
Divonis Melawan Hukum soal Polusi Udara, Anies Pamer Foto Langit Biru Jakarta. (Instagram Anies)

“Padahal, jenis partikulat ini membahayakan kesehatan, karena berukuran sangat kecil sehingga dapat menembus bulu hidung atau paru-paru dan menimbulkan penyakit,” ujar Mulya.

warga Jabodetabek secara umum merasakan dampak kualitas udara dengan munculnya rasa tidak nyaman saat menghirup udara. Ini tercermin dari kebiasaan menggunakan masker oleh 59,2 persen warga Jabodetabek jauh sebelum pandemi.

Mereka juga mengaku merasakan sejumlah gangguan kesehatan seperti batuk dan bersin (44,6 persen), sakit kepala/pusing (44,3 persen), iritasi pada mata, hidung, tenggorokan dan kulit (42 persen).

“Gejala lain juga dirasakan seperti kelelahan, iritasi kulit, sesak nafas, nasal drip, hipersensitivitas, alergi dan lainnya juga dirasakan warga. Gejala-gejala ini umumnya juga dipicu oleh kualitas udara yang buruk, tanpa mereka sadari,”

Sebanyak 54,5 persen responden mengaku tinggal di kawasan yang udaranya berdebu dan bercampur asap kendaraan dan 45,7 persen mengaku suhu udara meningkat. Namun, warga tampaknya masih kurang menyadari atau belum mengetahui dimensi-dimensi persoalan kualitas udara.

Menurutnya, hal ini menunjukkan masih banyak upaya yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai udara bersih, serta perlu aksi bersama untuk memperbaikinya.

Baca Juga: Negara Lain Sudah Coba Hidup dengan Covid-19, Apa yang Bisa Dipelajari?

Co-Founder dan Chief Growth Officer NAFAS, Piotr Jakubowski juga mengungkapkan hal senada. Masih banyak masyarakat salah persepsi tentang kualitas udara bersih.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI