Kisah Disabilitas Intelektual Meretas Kemandirian

Bimo Aria Fundrika Suara.Com
Senin, 18 Oktober 2021 | 12:55 WIB
Kisah Disabilitas Intelektual Meretas Kemandirian
Nathanael Andhika Santoso. (Dok: Instagram/nathandhika.s)

Namun sejak pandemi melanda, semua kegiatan akhirnya dilakukan di rumah masing-masing, termasuk Nathan juga masih tetap melukis dan menghasilkan karya. Lewat Rumah Belajar Kharis, setiap anak tidak hanya didorong untuk bisa menghasilkan karya. Tapi juga didampingi dalam hal pengemasan hingga pemasaran. Meski demikian, ada satu hal yang selalu ditekankan oleh Ida.

“Saya enggak mau orang beli dengan dasar kasihan, tapi terus sudah,” kata Ida.

Menurutnya, pola pikir yang cenderung mengasihani anak disabilitas justru membuat kegiatan yang dilakukan sulit untuk bisa berlanjut. Dengan demikian juga akan sulit bagi mereka untuk bisa mencapai kemandirian. Oleh sebab itu, dalam setiap prosesnya, Ida juga selalu mengedepankan kualitas dari karya yang dibuat oleh anak-anak disabilitas ini.

“Saya bilang kita pakai test food segala. Berkali-kali uji coba,” ujar Ida.

Bukan hanya itu, Ida juga ingin bahwa semua produk yang dihasilkan juga punya kualitas wahid yang bisa bersaing di pasaran. Bahkan, Ida juga berani memasarkannya dengan harga yang relatif tinggi. Seperti misalnya tas dan juga scarf yang dibuat oleh Nathan, masing-masing dijual dengan harga Rp 250 ribu dan Rp 195 ribu. Sehingga, mereka yang membeli karya dari anak berkebutuhan khusus adalah orang-orang yang sudah bisa mengapresiasi dan menghargai kemampuan  anak disabilitas apa adanya.

“Selama stigma yg tertempel di benak bahwa anak-anak  ini ‘bukan siapa-siapa’ dan "tidak akan bisa apa-apa", rasa menghargai tidak akan ada,” kata Ida.

Bahkan, Ida mengungkapkan bahwa hasil penjualan tas dan juga scarf COLOURS by Nathan juga ikut disumbangkan ke Ayo Sekolah Ayo Kuliah (ASAK), suatu program Keuskupan Agung Jakarta yang jadi sarana umat Katolik untuk membantu pendidikan bagi masyarakat kurang mampu.

“Dengan cara ini, kami juga ingin  mengubah mindset masyarakat bahwa yang berkebutuhan khusus itu juga bisa berbagi kepada masyarakat, bukan selalu yang harus disumbang dan dikasihani,” kata Ida.

Mendorong kemandirian dan menghapus stigma

Baca Juga: Sedih! Atlet Disabilitas Banyuwangi Raih Berbagai Prestasi Tanpa Didukung Pemda

Ida mengakui bahwa di masyarakat sendiri memang masih terdapat stigma pada bahwa anak disabilitas seringkali dianggap beban bagi masyarakat. Oleh sebab itu, melalui Rumah Belajar Kharis, ia ingin terus mengupayakan sekaligus membuktikan bahwa anak disabilitas bukan hanya bisa mandiri, tapi juga ikut berkontribusi bagi masyarakat.

Hasil karya anak disabiitas intelektual. (Dokumentasi pribadi)
Hasil karya anak disabiitas intelektual. (Dokumentasi pribadi)

“Anak-anak berkebutuhan khusus bukan ’beban’ masyarakat, melainkan "bagian" dari masyarakat.” kata Ida.

Ia melanjutkan, bahwa inklusivitas itu bisa dimulai dengan mengubah pola pikir dan menghapus stigma pada anak-anak disabilitas. Ida menganggap bahwa masyarakat seringkali menuntut orang dengan disabilitas dengan standar non-disabilitas. Sehingga, anak-anak disabilitas baru dianggap hebat jika berprestasi dan memenuhi standar masyarakat. Padahal, lanjut Ida, yang semestinya diubah dan beradaptasi ialah masyarakat umum agar bisa lebih terbuka terhadap orang dengan disabilitas. 

“Tapi mindset orang, ABK (anak berkebutuhan khusus) hebat kalo dia bisa nunjukin prestasi yg luar biasa. Mereka punya kelebihan semua. Masalahnya ada nggak dukungan untuk mengeluarkan kelebihan itu?”

Lebih lanjut, Ida mengatakan, bahwa pendekatan terapi, dan pendidikan bagi anak disabilitas akan sia-sia, jika pada akhirnya masyarakat masih sulit untuk menerima dan terus memberikan stigma.

“Saya selalu bilang kalau selama ABK apapun diajarin, kalau masyarakat enggk nerima, ya nggak ketemu.”

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI