Kisah Disabilitas Intelektual Meretas Kemandirian

Bimo Aria Fundrika Suara.Com
Senin, 18 Oktober 2021 | 12:55 WIB
Kisah Disabilitas Intelektual Meretas Kemandirian
Nathanael Andhika Santoso. (Dok: Instagram/nathandhika.s)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Bisa Berkarya dan menghasilkan

Hasil karya anak disabiitas intelektual. (Dokumentasi pribadi)
Hasil karya anak disabiitas intelektual. (Dokumentasi pribadi)

Rumah Belajar Kharis sendiri, mulanya justru didirikan untuk tempat berbagi bagi orangtua dengan anak disabilitas bagi para jemaat di Gereja Santa Monika Serpong, Tangerang Selatan. Komunitas itu telah berdiri sejak tahun 2002. Namun sempat vakum, dan baru kembali aktif pada tahun 2016 lalu.

Rumah Belajar Kharis jadi semacam wadah anak disabilitas untuk mengembangkan potensinya. Termasuk Nathan yang kini menjual karyanya dengan label Colours by Nathan.

“Selain Nathan, ada juga label lainnya seperti Brian’s kitchen, dan Amanda’s kitchen,” cerita Ida.

Sebelum pandemi setiap minggunya mereka biasa berkumpul di Rumah Belajar Kharis untuk berkegiatan. Di sana mereka melakukan berbagai kegiatan sesuai dengan minatnya. Ada yang memotong, mengupas dan mengolah bahan makanan, sementara yang lain asyik dengan kertas, pensil warna, atau kanvas untuk melukis.

Namun sejak pandemi melanda, semua kegiatan akhirnya dilakukan di rumah masing-masing, termasuk Nathan juga masih tetap melukis dan menghasilkan karya. Lewat Rumah Belajar Kharis, setiap anak tidak hanya didorong untuk bisa menghasilkan karya. Tapi juga didampingi dalam hal pengemasan hingga pemasaran. Meski demikian, ada satu hal yang selalu ditekankan oleh Ida.

“Saya enggak mau orang beli dengan dasar kasihan, tapi terus sudah,” kata Ida.

Menurutnya, pola pikir yang cenderung mengasihani anak disabilitas justru membuat kegiatan yang dilakukan sulit untuk bisa berlanjut. Dengan demikian juga akan sulit bagi mereka untuk bisa mencapai kemandirian. Oleh sebab itu, dalam setiap prosesnya, Ida juga selalu mengedepankan kualitas dari karya yang dibuat oleh anak-anak disabilitas ini.

“Saya bilang kita pakai test food segala. Berkali-kali uji coba,” ujar Ida.

Baca Juga: Sedih! Atlet Disabilitas Banyuwangi Raih Berbagai Prestasi Tanpa Didukung Pemda

Bukan hanya itu, Ida juga ingin bahwa semua produk yang dihasilkan juga punya kualitas wahid yang bisa bersaing di pasaran. Bahkan, Ida juga berani memasarkannya dengan harga yang relatif tinggi. Seperti misalnya tas dan juga scarf yang dibuat oleh Nathan, masing-masing dijual dengan harga Rp 250 ribu dan Rp 195 ribu. Sehingga, mereka yang membeli karya dari anak berkebutuhan khusus adalah orang-orang yang sudah bisa mengapresiasi dan menghargai kemampuan  anak disabilitas apa adanya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI