Suara.com - Berobat ke luar negeri makin umum dilakukan warga Indonesia. Malaysia jadi salah satu tujuan favorit — bukan hanya karena jaraknya dekat, tapi juga karena kualitas layanan kesehatan yang dianggap lebih baik dan efisien di beberapa bidang.
Namun, di balik semua kemudahan dan harapan untuk sembuh, ada satu persoalan teknis yang sering luput dari perhatian: cara membayar tagihan rumah sakit di luar negeri.
Tren Wisata Medis dari Indonesia Terus Naik
Menurut data dari Malaysia Healthcare Travel Council (MHTC), lebih dari 60% pasien asing yang menjalani pengobatan di Malaysia setiap tahunnya berasal dari Indonesia.
Alasannya beragam — mulai dari mencari second opinion, layanan yang lebih cepat, atau teknologi medis yang dianggap lebih maju.
Sementara itu, berdasarkan laporan dari Research and Markets, nilai remitansi atau pengiriman uang keluar dari Indonesia diperkirakan mencapai USD 5,02 miliar pada tahun 2024, naik 4,4% dari tahun sebelumnya.
Angka ini mencerminkan bahwa mobilitas orang Indonesia ke luar negeri—baik untuk pendidikan, pekerjaan, maupun kesehatan—semakin meningkat.
Namun di tengah tren positif ini, masih ada masalah yang belum sepenuhnya teratasi: pembayaran lintas negara yang praktis, cepat, dan terjangkau.
Ketika Pembayaran Jadi Beban Tambahan
Baca Juga: Telekonsultasi Lintas Negara, Warga Asing Lebih Mudah Mengakses Layanan Kesehatan Berkualitas
Banyak keluarga yang akhirnya menghadapi dilema baru ketika anggota keluarganya harus dirawat di luar negeri. Di satu sisi, mereka ingin segera fokus pada proses penyembuhan. Di sisi lain, mereka harus mengurus berbagai aspek administratif seperti pembayaran rumah sakit—yang sering kali rumit dan mahal.
Beberapa tantangan yang umum ditemui antara lain:
- Tidak memiliki kartu kredit internasional untuk membayar langsung ke rumah sakit.
- Transfer bank antarnegara yang makan waktu dan kena biaya tinggi.
- Nilai tukar mata uang asing yang fluktuatif dan bisa merugikan.
- Risiko salah transfer atau kendala teknis saat mengirim dana ke luar negeri.
Bagi keluarga pasien, hal-hal seperti ini bisa menambah beban mental di tengah situasi yang sudah penuh tekanan.
Melihat permasalahan tersebut, muncul berbagai solusi digital yang mempermudah pembayaran lintas negara.

Salah satu contoh adalah Flip Globe, fitur dari platform keuangan Flip yang memungkinkan pengguna melakukan pengiriman uang ke lebih dari 60 negara, termasuk membayar tagihan rumah sakit di Malaysia langsung dari rekening bank Indonesia, dalam Rupiah, tanpa perlu kartu kredit.
Fitur ini telah terintegrasi dengan lebih dari 50 rumah sakit di Malaysia, termasuk beberapa tujuan populer seperti Island Hospital dan Genesis IVF Penang.
Prosesnya cukup sederhana: pengguna hanya perlu membuka aplikasi Flip, memilih rumah sakit tujuan, lalu melakukan pembayaran seperti transfer biasa. Dalam hitungan menit, dana sudah diterima oleh rumah sakit yang dituju.
Selain lebih praktis, biaya transaksinya juga lebih rendah dibanding metode tradisional. Bahkan untuk transaksi pertama, Flip Globe memberikan layanan secara gratis.
Inovasi seperti ini bukan hanya soal efisiensi teknis, tapi juga memberi ketenangan pikiran bagi pasien dan keluarga—terutama dalam kondisi genting yang menuntut semuanya serba cepat dan tepat.
Lebih dari Sekadar Teknologi
Namun pada dasarnya, isu ini bukan hanya soal teknologi. Ini tentang pengalaman pasien. Ketika seseorang harus berobat ke luar negeri, mereka berharap bisa menjalani proses penyembuhan tanpa terlalu banyak urusan administratif. Pembayaran yang mudah dan transparan adalah bagian penting dari itu.
Langkah Flip dan penyedia fintech lainnya dalam menyederhanakan urusan pembayaran ini bisa dibilang menjadi bagian dari ekosistem wisata medis yang ideal—yang tidak hanya memikirkan layanan medis, tapi juga aspek pendukung seperti logistik, akomodasi, dan tentu saja, finansial.
Dengan makin terbukanya akses pengobatan di luar negeri, masyarakat Indonesia juga butuh sistem pendukung yang meringankan beban mereka. Urusan membayar rumah sakit seharusnya tidak lagi jadi kendala tambahan. Karena pada akhirnya, kesehatan—apalagi dalam kondisi kritis—harus jadi prioritas utama, bukan beban administratif.