Suara.com - Kehadiran sound horeg di tengah-tengah masyarakat mengundang polemik sekaligus rasa ingin tahu yang besar dari publik.
Fenomena beradu sound system yang berkembang di tengah masyarakat tersebut menuai pro dan kontra lantaran dinilai mengganggu.
Kendati dilanda banyak kontroversi, sound horeg juga melahirkan segudang pertanyaan besar.
Banyak yang bertanya-tanya terkait dari mana asal sound horeg sebenarnya.
Ada asumsi liar yang beredar bahwa sound horeg dirintis oleh sosok bernama Thomas Alva Edisound Horeg.
Publik yang awam dengan sound horeg akhirnya kadung membenarkan asumsi tersebut.
Lantas, bagaimana asal muasal sound horeg?
Sound Horeg dari Mana? Benarkah Buatan Thomas Alva Edisound?

Nama Thomas Alva Edisound Horeg akhirnya ramai di media sosial dan digadang-gadang sebagai pencipta sound horeg.
Nama tersebut muncul seiring viralnya seorang operator sound berbadan tambun dengan rambut dicat pirang.
Baca Juga: Gus Irfan Wesi Gunakan Pidato Bung Karno untuk Dukung Sound Horeg
Sosok operator sound tersebut tampak dengan lihai mengendalikan sound system yang ia bawa sambil mengatur kualitas suara menggunakan alat yang ia bawa.
Gayanya yang kalem dan seakan-akan menahan kantuk juga ikut menarik perhatian.
Publik sontak memberikan julukan pada si operator dengan nama Thomas Alva Edisound Horeg.
Adapun nama aslinya adalah Memed Potensio. Memed merupakan seorang warga dari Jawa Timur.
Nama Memed bukanlah sosok pencetus sound horeg, namun seorang praktisi dan operator sound system yang kini ikut diundang dalam berbagai festival horeg untuk mengendalikan audio.
Nama "Thomas Alva Edisound" juga merupakan guyonan sekaligus pelesetan dari Thomas Alva Edison, seorang ilmuwan kondang dari Amerika Serikat penemu lampu pijar..
Sound Horeg Ada sebelum Memed Viral: Diyakini Muncul di Tahun 2014
Berdasarkan beberapa sumber lokal dari masyarakat Jawa Timur dan penelitian dari tim Allya Salsa Bilatul Kh, sound horeg sudah ada sejak satu dekade yang lalu.
Pawai sound system sudah ada di Jawa Timur sejak tahun 2014.
Kala itu, berbagai penyedia jasa sound system berlomba-lomba untuk memamerkan teknologi tercanggih yang mereka miliki.
Berbagai pihak memamerkan sound system yang mereka miliki melalui berbagai pawai.
Pawai-pawai tersebut umumnya hanya terbatas pada pawai Idul Fitri dan Idul Adha.
Volume atau skala dari sound system yang digunakan kala itu juga tak ekstrem seperti sekarang dan masih relatif dapat ditolerir oleh masyarakat lokal.
Pawai sound system juga awalnya terbatas pada beberapa daerah di Jawa Timur seperti Banyuwangi, Sidoarjo, Malang, hingga beberapa area di Surabaya.
Namun lambat laun, muncul istilah sound horeg pada tahun 2020-an. Para pegiat sound system akhirnya mulai meningkatkan skala alat yang mereka pakai dalam pawai.
Bahkan, hasil dari sound yang dipakai menimbulkan dampak seperti kerusakan rumah dan bangunan sekitar.
Uniknya, istilah horeg diambil dari kata dalam bahasa Jawa yang berarti 'gempa', sebagaimana yang dijelaskan dalam Kamus Bahasa Jawa-Indonesia (KBJI) oleh Kemendikbud.
Istilah horeg yang berarti gempa dipakai untuk mencerminkan dampak sound system yang dipakai sekarang.
Dampak dari sound horeg akhirnya menuai kontroversi.
Tim media dari Universitas Muhammadiyah Surakarta melansir bahwa beberapa ahli seperti dokter spesialis telinga, hidung, dan tenggorokan (THT), dr. Arne Laksmiasanti., Sp.THT-KL telah mewanti-wanti batas volume suara yang bisa ditolerir telinga manusia.
Berdasarkan penelitian yang disajikan, hasil dari sound horeg ternyata memberikan dampak yang besar bagi pendengaran masyarakat sekitar.
Kontributor : Armand Ilham