Pada Juni 2022, Keraton menerbitkan Surat Palilah untuk PT Biru Bianti Indonesia sebagai pengelola resmi kawasan wisata Pantai Sanglen.
Pemberian izin ini dimaksudkan untuk menata dan mengembangkan kawasan tersebut secara profesional, yang juga disertai nota kesepahaman untuk melibatkan masyarakat lokal dalam pengelolaannya.
Namun, di sisi lain, muncul kelompok warga bernama Paguyuban Sanglen Berdaulat yang juga mengajukan permohonan pemanfaatan, tetapi ditolak karena lahan telah berizin.
4. Tawaran Relokasi dan Mediasi yang Buntu
Sebagai jalan tengah, Sri Sultan HB X telah buka suara dan meminta agar penyelesaian masalah tidak dilakukan dengan cara represif. Sultan mendorong adanya dialog terbuka untuk membahas status hukum tanah secara jelas.
Opsi pemberian kompensasi atau pesangon (uang tali asih) pun ditawarkan kepada warga yang berhak sebagai solusi relokasi.
Namun, sebagian warga yang didampingi oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) merasa tawaran tersebut belum konkret dan bersikeras untuk mempertahankan lahan yang selama ini menjadi sumber penghidupan mereka.
Penutupan Pantai Sanglen menjadi cerminan kompleksnya persoalan agraria dan penataan kawasan wisata di Yogyakarta. Di satu sisi ada upaya penataan aset sesuai hukum, di sisi lain ada nasib warga lokal yang bergantung pada denyut pariwisata.
Baca Juga: 'Healing' Berubah Petaka: Jejak Terakhir Azka di Pantai Siung, Antara Adrenalin dan Putus Asa