Suara.com - Publik dihebohkan oleh rencana Pemerintah Kabupaten Pati yang akan menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 250%. Kebijakan yang digagas oleh Bupati Pati, Sudewo, ini sontak memicu protes dan perdebatan luas. Kasus ini menjadi pengingat penting bagi setiap pemilik properti untuk memahami berapa tarif Pajak Bumi dan Bangunan yang berlaku dan bagaimana cara penghitungannya.
Kenaikan drastis di Pati menunjukkan betapa dinamisnya kebijakan PBB di tingkat daerah. Bagi generasi milenial dan anak muda yang baru pertama kali memiliki properti, memahami PBB adalah sebuah keharusan agar tidak terkejut saat menerima Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT).
Artikel ini akan mengupas tuntas, dengan bahasa yang mudah dipahami, mengenai tarif PBB terbaru, cara menghitungnya, serta menganalisis alasan di balik kenaikan fantastis di Kabupaten Pati.
Berapa Sebenarnya Tarif Resmi PBB?
Pertama-tama, penting untuk diketahui bahwa PBB yang kita bayarkan setiap tahun adalah Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2). Sejak tahun 2014, pengelolaan PBB-P2 sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah daerah (kabupaten/kota).
Dasar hukum terbarunya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD). Berdasarkan Pasal 41 UU HKPD, aturan mainnya adalah sebagai berikut:
Tarif PBB-P2 ditetapkan paling tinggi sebesar 0,5%.

Setiap pemerintah daerah (Pemda) berwenang menetapkan tarifnya sendiri melalui Peraturan Daerah (Perda), asalkan tidak melebihi batas maksimal 0,5% tersebut.
Khusus untuk lahan produksi pangan dan peternakan, tarifnya ditetapkan lebih rendah.
Baca Juga: Suara Live! Plt Sekda Pati Hampir Adu Jotos dengan Warganya, Gim Roblox Bakal Dilarang di Indonesia?
Jadi, tidak ada tarif tunggal yang berlaku di seluruh Indonesia. Tarif PBB di Jakarta bisa berbeda dengan di Surabaya, Bandung, atau Pati, tergantung Perda masing-masing.
Melihat angka di tagihan PBB terkadang membuat pusing. Padahal, rumusnya cukup sederhana jika kita memahami komponennya. Mari kita bedah satu per satu.
Komponen Utama:
1. NJOP (Nilai Jual Objek Pajak): Ini adalah taksiran harga properti (tanah dan bangunan) yang ditetapkan oleh pemerintah. NJOP bukan harga transaksi riil, melainkan sebuah nilai acuan untuk menghitung pajak. NJOP dievaluasi dan bisa naik setiap beberapa tahun sekali sesuai perkembangan wilayah.
2. NJOPTKP (Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak): Ini adalah batas nilai properti yang bebas pajak alias semacam "diskon" dari pemerintah.
Menurut UU HKPD, besaran NJOPTKP ditetapkan paling rendah Rp10.000.000 untuk setiap Wajib Pajak, namun Pemda bisa menetapkan nilai yang lebih tinggi.
Rumus Sederhana Menghitung PBB:
PBB Terutang = Tarif x (NJOP - NJOPTKP)
Contoh Simulasi Perhitungan:
Misalkan Anda memiliki sebuah rumah di Kota X dengan data sebagai berikut:
Luas tanah: 100 m² (NJOP tanah Rp 2.000.000/m²)
Luas bangunan: 50 m² (NJOP bangunan Rp 2.500.000/m²)
NJOPTKP di Kota X: Rp 60.000.000
Tarif PBB yang berlaku di Perda Kota X: 0,1%
Langkah-langkahnya:
Hitung Total NJOP:
NJOP Tanah: 100 m² x Rp 2.000.000 = Rp 200.000.000
NJOP Bangunan: 50 m² x Rp 2.500.000 = Rp 125.000.000
Total NJOP (Tanah + Bangunan): Rp 200.000.000 + Rp 125.000.000 = Rp 325.000.000
Hitung Dasar Pengenaan PBB:
Dasar Pengenaan = Total NJOP - NJOPTKP
Dasar Pengenaan = Rp 325.000.000 - Rp 60.000.000 = Rp 265.000.000
Hitung PBB Terutang:
PBB = Tarif x Dasar Pengenaan
PBB = 0,1% x Rp 265.000.000 = Rp 265.000
Jadi, PBB yang harus Anda bayarkan tahun itu adalah Rp 265.000.
Mengapa PBB di Pati Meroket hingga 250%?
Lalu, bagaimana bisa PBB di Pati naik begitu tajam? Berdasarkan pernyataan Bupati Pati, Sudewo, ada beberapa alasan mendasar.
Bupati Pati Sudewo mengatakan alasan utama yang dikemukakan adalah PBB di Pati tidak pernah mengalami kenaikan selama 14 tahun. Akibatnya, NJOP yang menjadi dasar perhitungan menjadi sangat usang dan tidak lagi mencerminkan harga pasar properti saat ini.
Ketika NJOP disesuaikan secara drastis setelah 14 tahun, lonjakan nilai pajak yang harus dibayar pun menjadi tak terhindarkan.
Sudewo membandingkan pendapatan PBB Pati yang hanya Rp 29 miliar dengan kabupaten tetangga seperti Jepara (Rp 75 miliar) dan Kudus (Rp 50 miliar), padahal wilayah Pati lebih luas.
Menurutnya, dana dari kenaikan PBB ini direncanakan untuk membiayai kebutuhan mendesak, seperti perbaikan infrastruktur jalan dan pembenahan fasilitas RSUD RAA Soewondo.
Kenaikan "250%" ini kemungkinan besar bukan pada tarifnya (yang dibatasi 0,5%), melainkan pada nilai akhir pajak yang harus dibayar sebagai akibat dari penyesuaian NJOP yang sangat signifikan setelah sekian lama stagnan.