Suara.com - Menjelang peringatan Hari Kemerdekaan ke-80 Republik Indonesia, sebuah film animasi lokal berjudul Merah Putih: One for All resmi meluncur. Tapi animasi ini malah banjir kritik dan dinilai menjadi antiklimaks animasi Jumbo yang sudah sukses sebelumnya.
Mengusung semangat nasionalisme, film ini bercerita tentang delapan anak dari latar belakang budaya berbeda yang bersatu mencari bendera pusaka sebelum upacara 17 Agustus dimulai.
Ide ceritanya sederhana namun sarat pesan kebersamaan yakni mengatasi perbedaan demi tujuan yang sama, mengibarkan Sang Saka di hari bersejarah.
Sayangnya, alih-alih menuai pujian, film garapan Perfiki Kreasindo ini justru banjir kritik setelah cuplikan trailernya beredar di media sosial.
Reaksi publik menunjukkan bahwa penonton Indonesia kini tidak lagi mudah terpukau hanya dengan label “karya anak bangsa.” Standar mereka sudah terlanjur naik dan salah satu penyebabnya adalah kesuksesan besar film animasi Jumbo beberapa bulan lalu.
Trailer Merah Putih: One for All, yang diunggah di kanal YouTube Historika Film, memperlihatkan petualangan Tim Merah Putih yaitu delapan anak yang harus menembus hutan, menyusuri sungai, melawan badai, hingga menghadapi berbagai rintangan demi menemukan bendera pusaka yang hilang tiga hari sebelum peringatan kemerdekaan.
Namun, meskipun premisnya terdengar menggugah, eksekusinya dianggap jauh dari memuaskan. Banyak warganet menilai desain karakternya kaku, animasinya datar, dan kualitas grafis terasa jadul, seolah diproduksi terburu-buru untuk mengejar momen 17 Agustus.
Alhasil tak sedikit yang membandingkan film ini dengan Jumbo, yang menghadirkan animasi dengan kualitas mendekati standar internasional. “Benchmark masyarakat buat menilai kualitas animasi ya pakenya Jumbo. Udah nggak bisa lagi jualan cuma pakai kalimat sakti ‘karya anak bangsa’,” tulis salah satu pengguna X.
Bahkan ada komentar yang lebih pedas, menyebut film ini “mirip proyek tugas sekolah” atau “lebih membosankan dari menatap kursi bioskop kosong selama dua jam.” Ada pula spekulasi bahwa sebagian suara karakter diisi menggunakan teknologi AI, yang semakin memperkuat anggapan bahwa proses produksinya kurang serius.
Baca Juga: Siapa Suntik Dana Rp 6,7 Miliar Film Merah Putih One For All, Benarkah 'Sosok' Ini?
Jumbo: Standar Baru Animasi Lokal

Kontras dengan Merah Putih: One for All, film animasi Jumbo karya Ryan Adriandhy telah mencatatkan rekor luar biasa. Dalam waktu kurang dari sepekan, film ini menembus lebih dari satu juta penonton, menjadikannya animasi Indonesia terlaris sepanjang masa. Pencapaian tersebut menjadikan Jumbo sebagai standar animasi lokal.
Alasan kenapa Jumbo bisa jadi standar ialah karena hasil produksinya memuaskan. Produksinya memakan waktu lima tahun, melibatkan lebih dari 400 kreator, dan menghasilkan kualitas visual yang membuat penonton Indonesia bangga.
Bahkan, Jumbo berhasil tayang di 17 negara, membuktikan bahwa animasi lokal mampu bersaing ditingkat global jika digarap dengan komitmen tinggi.
Kesuksesan Jumbo membuat penonton kini memiliki ekspektasi yang jauh lebih tinggi terhadap film animasi lokal. Standar ini menuntut kualitas visual, alur cerita, dan pengisi suara yang solid, bukan sekadar pesan moral yang baik.
Merah Putih: One for All sebenarnya memiliki niat baik yakni merayakan kemerdekaan dengan mengangkat semangat persatuan. Namun, melihat hasilnya, ada kemungkinan dugaan netizen ada benarnya, seperti kekurangan waktu atau sumber daya untuk meningkatkan kualitasnya.