Penggunaan cobek dari tanah liat bukanlah sekadar wadah, melainkan bagian krusial dari resep itu sendiri yang tak bisa ditawar.
"Kalau tidak pakai cobek, tidak enak. Ada rasa yang berbeda dan harum," ujar Ririn Sari Dewi, Kepala Dinas Pariwisata Kalimantan Timur yang sebelumnya lama berdinas di Bontang.
Panas yang tersimpan lama di dalam tanah liat tidak hanya menjaga hidangan tetap hangat hingga suapan terakhir.
Tetapi juga mengeluarkan aroma smoky khas yang tak bisa ditiru oleh wajan logam mana pun.
Dari Dapur Sederhana Menuju Panggung Nasional
Mengutip Antara, Gammi Bawis bukanlah hidangan yang baru diciptakan untuk pariwisata. Ia adalah warisan yang berakar kuat dari keseharian masyarakat Bontang Kuala.
Menurut penuturan warga setempat, hidangan ini adalah makanan sehari-hari bagi orang terdahulu.
"Karena dulu gammi dimakan dengan singkong juga," tutur seorang warga, mengisahkan kesederhanaan di masa lampau.
Istilah sambal gammi sendiri lahir dari filosofi sederhana: "kalau makan tanpa sambal itu tidak enak."
Baca Juga: Aniva, Kawasan Kuliner dan Gaya Hidup yang Laris Manis di Gading Serpong: Apa Istimewanya?
Dari dapur sederhana di perkampungan atas air, Gammi Bawis menjelma menjadi duta kuliner yang membanggakan.
Rentetan prestasi telah diukirnya, mulai dari Juara I di berbagai festival kuliner tingkat provinsi hingga dinobatkan menjadi juara terbaik se-Kalimantan di HUT TMII pada 2015.
Puncaknya, hidangan ini berhasil masuk nominasi 10 besar Anugerah Pesona Indonesia (API) 2017 dan pernah dicicipi langsung oleh Presiden Joko Widodo.
Saat Gammi Bawis Resmi Jadi Milik Bontang
Setelah melalui berbagai upaya, pada tahun 2024, Pemerintah Kota (Pemkot) Bontang berhasil mencatatkan Kekayaan Intelektual Komunal (KIK) Indikasi Asal untuk Sambal Gammi Bawis.
Legalitas ini secara hukum menegaskan bahwa Gammi Bawis adalah warisan budaya dari Bontang.