Mengapa Primbon Masih Relevan di Era Digital?
Fenomena menariknya adalah bagaimana tradisi ini beradaptasi dan tetap hidup di kalangan usia 18-45 tahun yang notabene hidup di lingkungan urban dan melek teknologi.
Ada beberapa alasan mengapa primbon Jawa, khususnya konsep Tibo Tinari, masih relevan.
Pertama, sebagai penanda identitas budaya.
Di tengah gempuran budaya global, melirik primbon menjadi cara bagi generasi muda untuk terhubung kembali dengan akar dan warisan leluhur mereka.
Ini bukan soal percaya buta, melainkan upaya menghargai kearifan lokal yang telah diwariskan turun-temurun.
Kedua, primbon menawarkan semacam ‘pegangan’ atau rasa aman psikologis. Dunia kencan modern seringkali terasa acak dan penuh ketidakpastian.
Perhitungan weton memberikan kerangka dan narasi yang menenangkan, seolah ada restu dari alam semesta bahwa pasangan yang dipilih memang "ditakdirkan" bersama.
Ketiga, ia berfungsi sebagai filter tambahan yang unik. Setelah melalui proses 'swipe right', stalking media sosial, dan beberapa kali kencan, mengecek kecocokan weton bisa menjadi langkah menyenangkan berikutnya.
Baca Juga: Punya Mental Kuat, 8 Weton Ini Disebut Magnet Rezeki Menurut Primbon Jawa
Ini adalah cara menggabungkan logika modern dengan sentuhan mistis tradisional, sebuah validasi ekstra sebelum hubungan menjadi lebih serius.
Pada akhirnya, bagi generasi muda di kota-kota besar, primbon Jawa dan ramalan Tibo Tinari tidak lagi dipandang sebagai aturan kaku yang harus diikuti.
Ia telah berevolusi menjadi panduan personal, sumber kebijaksanaan, dan cara unik untuk memahami dinamika hubungan. Sebuah jembatan yang menghubungkan pencarian cinta di era modern dengan kearifan masa lalu.