Makna Tradisi Rambu Solo' di Toraja, Lebih dari Sekadar Ritual dengan Biaya Besar

Yasinta Rahmawati Suara.Com
Rabu, 05 November 2025 | 14:00 WIB
Makna Tradisi Rambu Solo' di Toraja, Lebih dari Sekadar Ritual dengan Biaya Besar
Pesta Rambu Solo di Toraja selalu dinantikan para wisatawan. Ritual adat ini adalah sebuah upacara pemakaman bagi suku Toraja yang sangat ramai [[SuaraSulsel.id / Istimewa]

Pelaksanaan Rambu Solo terdiri dari beberapa tahapan, dan setiap tahap memiliki makna tersendiri. Beberapa prosesi penting yang umumnya dilakukan antara lain:

  • Ma’tudan Mebalun, yaitu prosesi membungkus jenazah dengan kain khusus sebagai simbol kasih sayang terakhir.
  • Ma’popengkalao, pengangkatan jenazah ke peti yang kemudian ditempatkan di rumah adat (tongkonan) atau lumbung.
  • Ma’pasonglo’, upacara doa yang dilakukan untuk memohon keselamatan roh.
  • Ma’badong, ritual berupa tarian dan nyanyian duka yang dilakukan oleh masyarakat secara bergantian sepanjang malam.
  • Pemotongan Kerbau (Tedong Solok), yang menjadi inti upacara. Hewan ini diyakini sebagai bekal bagi roh dalam perjalanannya menuju Puya. Semakin banyak kerbau yang dikorbankan, semakin tinggi pula kedudukan sosial keluarga yang meninggal.
  • Pemakaman di Tebing Batu, di mana jenazah ditempatkan di gua atau tebing batu sebagai simbol keabadian.

Kerbau memiliki makna khusus dalam tradisi ini. Jenis Tedong Bonga yakni kerbau belang yang langka bisa bernilai ratusan juta rupiah per ekor. Karena itu, banyak keluarga menabung selama bertahun-tahun agar dapat melaksanakan Rambu Solo’ dengan layak.

Dampak Sosial dan Ekonomi

Di luar nilai spiritualnya, Rambu Solo’ juga memberi dampak ekonomi dan sosial yang signifikan bagi masyarakat Toraja. Setiap pelaksanaan upacara menarik banyak wisatawan lokal maupun mancanegara. 

Hotel, penginapan, restoran, serta penjual souvenir mengalami peningkatan pendapatan selama musim upacara. Menurut Dinas Pariwisata Toraja, jumlah wisatawan meningkat hingga 30 persen selama periode puncak pelaksanaan Rambu Solo’, terutama pada bulan Juli dan Agustus.

Selain menjadi sumber ekonomi, tradisi ini mempererat hubungan sosial antar keluarga dan antar warga desa. Seluruh masyarakat akan bergotong royong membantu keluarga yang berduka, baik dalam bentuk tenaga maupun sumbangan hewan kurban.

Meskipun masih terjaga, pelaksanaan Rambu Solo’ kini menghadapi tantangan baru. Modernisasi dan biaya yang tinggi membuat sebagian keluarga memilih untuk menyederhanakan prosesi agar lebih terjangkau. 

Generasi muda Toraja juga dihadapkan pada dilema antara melestarikan adat leluhur atau menyesuaikannya dengan kondisi ekonomi saat ini. Selain itu, faktor lingkungan juga menjadi perhatian. 

Pada Juli 2024, misalnya, terjadi bencana longsor di Toraja Utara yang menewaskan sejumlah warga saat menghadiri upacara Rambu Solo’. Kejadian ini menjadi pengingat pentingnya memperhatikan aspek keselamatan dan kesiapsiagaan alam dalam pelaksanaan tradisi besar seperti ini.

Baca Juga: Dianggap Hina Adat Toraja, Pandji Pragiwaksono Minta Maaf atas Materi Stand Up 12 Tahun Lalu

Demikian itu penjelasan soal makna tradisi Rambu Solo di Toraja. Tradisi Rambu Solo bukan hanya warisan budaya Toraja, tetapi juga salah satu simbol kekayaan budaya Indonesia yang diakui dunia. 

Upaya pelestarian terus dilakukan, baik oleh masyarakat adat, pemerintah, maupun sektor pariwisata. Beberapa pihak bahkan mengusulkan agar Rambu Solo dimasukkan ke dalam kalender budaya nasional dan didaftarkan sebagai warisan budaya takbenda UNESCO.

Kontributor : Mutaya Saroh

×
Zoomed

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI