Perdebatan-perdebatan yang terjadi pada masa itu lebih kepada hal-hal yang mendasar bagi kepentingan khalayak.
"Maka kalau kita lihat perdebatan mereka itu panjang, karena perdebatan mereka itu menggunakan argumentasi. Jadi Tahun 1955 itu demokrasi dan perdebatan yang memang substansial. Nah, pada waktu isu SARA itu tidak pernah laku, karena publik Indonesia sadar bahwa isu SARA itu tidak mampu membawa kontribusi bagi kehidupan berbangsa dan bernegara," katanya.
Benny menegaskan dulu dan sekarang isu SARA tidak pernah laku. Masyarakat umumnya berpikir rasional.
“Rakyat itu akan memilih calon-calon yang pertama memiliki rekam jejak yang baik. Kedua, anti korupsi, ketiga, adalah orang yang menyejahterakan, keempat adalah orang yang mau bekerja, dan kelima adalah orang yang memiliki kualitas dalam leadership-nya,” kata Benny.
“Jadi isu SARA itu sendiri tidak perlu ditakutkan, karena dalam sejarah kita sejak tahun 1955 itu tidak pernah menang, dan isu SARA itu tidak pernah laku, karena rakyat Indonesia itu rasional, tidak emosional," Benny menambahkan.
Isu sekarang yang muncul jelang pilkada tahun 2017, menurut Benny, muncul lebih pada asalan tidak adanya visi misi yang jelas dari para peserta pilkada.
Faktor penyebab yang lainnya adalah tidak adanya kepercayaan diri untuk bersaing secara sehat karena mereka tidak punya solusi untuk membawa keluar dari kumparan masalah yang ada.
"Isu SARA itu sebenarnya menunjukkan para calon itu tidak memiliki kepercayaan diri. Karena kalau dia menggunakan isu SARA itu dia hanya membakar emosional. Akibatnya timbul konflik, dan itu sebenarnya mengancam eksistensi kita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yaitu kebhinekaan,” katanya.
Menurut Benny jika peserta pilkada percaya diri dan punya program yang baik untuk menyejahterakan masyarakat, tentu mereka meninggalkan isu agama dan etnis.
“Kalau para calon itu percaya diri, punya program unggulan, kemudian memiliki yang namanya tawaran-tawaran solusi terhadap persoalan, kemudian memiliki sebuah agenda yang jelas, maka semua calon itu memiliki kepercayaan diri, sehingga bicara dengan agenda, agenda yang jelas, apa yang ditawarkan kepada masyarakat Jakarta, kepada publik. Kalau isu SARA itu terus dimainkan, berarti para calon ini tidak punya visi, dan misi tentang perubahan apa yang ditawarkan kepada masyarakat," katanya.
Benny menyarankan peserta pilkada Jakarta lebih baik bersaing sehat. Menghindari pecah belah. Dengan cara adu program dengan lawan politik.
Memakai isu SARA, menurut Benny, hanya akan memperkeruh keadaan. Benny mengatakan peserta pilkada tidak usah risau, publik pasti memilihnya jika memang bisa meyakinkan akan mampu bekerja sebaik-baiknya.
“Nggak apa-apa (ada reaksi tokoh agama berbeda-beda), tapi masyarakat kan sudah cerdas dan matang. Nggak perlulah kita perhatikan ke masyarakat, justru nanti integritas cendekiawan dan tokoh agama itu sendiri yang merosot di mata publik. Nggak usah terlalu khawatirlah, rakyat itu sudah cerdas," kata Benny.