Melihat Sejarah, Isu SARA Tak Pernah Laku

Senin, 10 Oktober 2016 | 19:10 WIB
Melihat Sejarah, Isu SARA Tak Pernah Laku
Ilustrasi KPU [suara.com/Adrian Mahakam]

"Isu SARA itu sebenarnya menunjukkan para calon itu tidak memiliki kepercayaan diri. Karena kalau dia menggunakan isu SARA itu dia hanya membakar emosional. Akibatnya timbul konflik, dan itu sebenarnya mengancam eksistensi kita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yaitu kebhinekaan,” katanya.

Menurut Benny jika peserta pilkada percaya diri dan punya program yang baik untuk menyejahterakan masyarakat, tentu mereka meninggalkan isu agama dan etnis.

“Kalau para calon itu percaya diri, punya program unggulan, kemudian memiliki yang namanya tawaran-tawaran solusi terhadap persoalan, kemudian memiliki sebuah agenda yang jelas, maka semua calon itu memiliki kepercayaan diri, sehingga bicara dengan agenda, agenda yang jelas, apa yang ditawarkan kepada masyarakat Jakarta, kepada publik. Kalau isu SARA itu terus dimainkan, berarti para calon ini tidak punya visi, dan misi tentang perubahan apa yang ditawarkan kepada masyarakat," katanya.

Benny menyarankan peserta pilkada Jakarta lebih baik bersaing sehat. Menghindari pecah belah. Dengan cara adu program dengan lawan politik.
Memakai isu SARA, menurut Benny, hanya akan memperkeruh keadaan. Benny mengatakan peserta pilkada tidak usah risau, publik pasti memilihnya jika memang bisa meyakinkan akan mampu bekerja sebaik-baiknya.

“Nggak apa-apa (ada reaksi tokoh agama berbeda-beda), tapi masyarakat kan sudah cerdas dan matang. Nggak perlulah kita perhatikan ke masyarakat, justru nanti integritas cendekiawan dan tokoh agama itu sendiri yang merosot di mata publik. Nggak usah terlalu khawatirlah, rakyat itu sudah cerdas," kata Benny.

Kepada masyarakat Jakarta, lulusan jurusan Filsafat dan Teologi di Widya Sasana Malang tahun 1996 tersebut berharap jangan terprovokasi. Jangan ikut-ikutan merespon lemparan isu agama dan etnis. Masyarakat harus tetap pintar.

"Kita tidak perlu terlalu menanggapi isu SARA-nya, yang kita kita mau sekarang adalah masing-masing calon menawarkan agenda perubahannya apa, bagaimana mencari solusi terhadap persoalan yang terjadi. Jadi ukurannya itu pada agenda, masing-masing harus mampu memiliki agenda, maka pertarungannya agenda, karena menurut saya isu SARA itu sudah selesai, dan rakyat juga tidak usah terlalu merespon juga," kata Benny.

Pengajar filsafat di STF Driyarkara Franz Magnis Suseno menambahkan isu SARA tidak akan pernah hilang dari dinamika politik, dunia, bahkan Indonesia. 

"Mungkin tidak akan hilang tapi akan berkurang. Ambil contoh Amerika Serikat, butuh 160 tahun sampai orang Katolik pertama bisa menjadi presiden, John F. Kennedy. Waktu dia jadi Presiden, di AS banyak orang protestan di AS yang histeris karena banyak yang mengira, AS akan dijual ke Vatikan. Kita kita jangan terlu heran. Tapi sesudah Kennedy tidak jadi presiden, masalah itu hilang dan sejak itu tidak dipertanyakan," kata Magnis di Universitas Paramadina, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan.

Hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Magnis mengambil contoh pandangan masyarakat yang menilai perempuan tidak bisa menjadi Presiden. Sampai akhirnya pandangan tersebut runtuh setelah Megawati Soekarnoputri berhasil menjadi Presiden di tahun 2001.

"Di Indonesia ada kasus seperti itu, yaitu perempuan. Waktu Megawati memenangkan  pemilihan tahun 1999 banyak sekali yang mengatakan perempuan tidak bisa jadi Presiden, kemudian ibu Megawati menjadi Presiden, dan Gus Dur melakukan yang  sangat pintar meminta Hamzah Haz jadi wakilnya. Sejak itu, wacana perempuan jadi pemimpin sudah hilang," katanya.

Menurut Magnis isu SARA tak akan berdampak apa-apa jika susana bangsa atau daerahnya baik.

"Isu SARA itu efektif, kalau suasana ekstrem emosional, tapi kalau di negara yang suasananya bagus, cukup baik, itu tidak efektif. Tapi kalau tidak, tentu SARA bisa memainkan perannya, kita harus waspada. Ada pengaruhnya, tapi saya tidak terlalu pesimis, sampai sekarang misalnya dalam pilgub di Jakarta, muncul isu SARA, tapi masih terkendali. Saya berharap setiap orang siap mengendalikan diri dengan mengambil sikap atas dasar  pertimbangan untuk memilih calon gubernur yang berebutan untuk menjadi gubernur berikutnya," kata Magnis.

Koordinator Forum Kaum Muda Nahdlatul Ulama DKI Jakarta Taufik Damas ikut angkat suara menanggapi isu yang membuat suasana makin panas itu. Dia mengingatkan setiap warga negara Indonesia memiliki hak yang sama dan tidak memandang latar belakang agama dan etnis.  Hal ini sesuai asas negara ini yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

"Saya imbau kepada semua pihak, siapapun untuk kembali kepada Pancasila dan UUD 45. Kesadaran atas konstitusi itu penting, agar orang bisa menerima kenyataan bahwa Indonesia beragam suku, etnis, agama dan kepercayaan," kata Taufik kepada Suara.com di Jakarta.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI