Presiden Joko Widodo terperangah mendengarkan skenario tersebut. Tiba-tiba Presiden bangkit mengangkat tubuhnya dari sandaran kursi. Dalam nada suara agak meninggi, Presiden seperti menegur saya.
“Ada apa kok Pak Usamah mendesak saya terus bertemu Pak Habib? Dia kan masih ada urusan hukum dengan aparat? Saya sudah tiga kali panggil tim aparat di sini, gara-gara Pak Usamah terus menerus mendesak saya. Mereka ekspose persoalan hukum Pak Habib. Sebagai Presiden, saya tidak akan intervensi hukum. Sama seperti waktu kasus Ahok, saya tidak intervensi apapun,” tandas Presiden, dengan nada suara agak meninggi.
“Mohon maaf Bapak Presiden,” sahut saya spontan untuk meredakan situasi perbincangan empat mata yang mulai memanas. “Mungkin pandangan saya kurang tepat. Tetapi, Bapak Presiden harus percaya, tidak ada maksud apapun saya menyampaikan pandangan ini. Bapak harus ingat, saya orang yang memimpin perjalanan umrah keluarga Bapak ke Tanah Suci Makkah pada 16 sampai 18 Juli 2014, yang turut mendoakan Bapak di Baitullah agar terpilih menjadi Presiden. Harapan saya cuma satu, agar situasi dan kondisi sosial politik di negeri ini kondusif. Izinkan saya menyampaikan pandangan pribadi saya apa adanya, sebagai salah seorang pemimpin pergerakan Islam di negeri ini,” ujar saya memohon.
“Silakan…silakan Pak Usamah,” kata Presiden dengan nada suara yang sudah landai.
“Mohon ampun Bapak, saya tidak bermaksud menggurui. Di mana pun dalam suatu pemerintahan negara, roda pemerintahan tidak akan berhasil bila tidak didukung oleh golongan mayoritas,” saya melanjutkan. Sorot mata Presiden menatap dan menyimak kata-kata saya dengan seksama.
“Mohon maaf Bapak Presiden, sekarang ini sudah tercipta stigma di sebagian golongan muslim, terutama simpatisan 212, seolah-olah pemerintahan Bapak ini Anti Islam. Saya sungguh sedih. Karena bilamana saya amati, sesungguhnya tidak demikian. Karena saya perhatikan, yang terjadi di seputar pemerintahan semacam insubordinasi kebijakan. Atau mungkin lebih tepat distorsi public opinion policy. Bapak menyatakan berkali-kali tidak pernah melakukan kriminalisasi ulama. Itu urusan hukum dengan aparat. Sementara teman-teman 212 melihat itu kriminalisasi ulama. Mereka bertanya, mengapa Presiden melakukan pembiaran? Ini kan rezim Jokowi? Karena itu harus ada solusinya Bapak,” papar saya.
“Semua tudingan itu tidak benar Pak Usamah. Mana mungkin saya anti Islam, wong saya sejak lahir Islam,” tandas Jokowi.
“Saya paham itu Pak. Nanti kan saya luruskan.”
“Apa lagi usulan Pak Usamah?” sahut Presiden datar.
Baca Juga: Prediksi Indonesia Punah, Relawan Jokowi: Emang Prabowo Tuhan?
Saya menarik nafas panjang. Cukup hati-hati memilih kata-kata. Karena sejak awal saya selalu menanamkan di benak pikiran harus berhati-hati dalam berbicara. Sejak menunggu di ruang tamu Istana, saya terus wirid agar dilancarkan lidah saya. Pasalnya yang menjadi lawan bicara saya adalah seorang Presiden Republik Indonesia, seorang Kepala Negara dari sekitar 260 juta penduduk, seorang yang memiliki tradisi Jawa yang menjunjung tinggi peradaban, kesantunan, dan sangat tegas dalam mengambil keputusan.
“Begini Bapak Presiden. Saya sekali lagi mohon maaf… mohon maaf. Kata kuncinya adalah Bapak Presiden dan Habib Rizieq harus bertemu. Agar ketegangan umat menjadi teduh. Saya ada skenario lain.”
“Bagaimana itu?” kejar Presiden.
“Pada tanggal 21 Februari 2018 nanti, saya bersama teman-teman mohon izin akan melaksanakan kembali peringatan Aksi 212. Bila Bapak berkenan, saat itu HRS diizinkan pulang. Kami akan jemput bersama-sama, kemudian kami sujud syukur di Istiqlal, syukur-syukur bila Bapak Presiden berkenan Shalat Zhuhur bersama, lantas dilanjutkan pertemuan empat mata dengan Bapak. Tempatnya nanti kita atur.”
“Mau bikin apa lagi Pak Habib pulang?” tanya Presiden.