“Gak tahu Pak. Katanya lingkaran Istana. Jadi saya sudah sulit minta waktu audiensi melalui jalur khusus seperti arahan Bapak selama ini.”
“Lha, sekarang ini kok bisa dijadwalkan bertemu saya? Lewat siapa?”
“Mensesneg Pak.”
“Ooo begitu ya. Yo wis, nanti lewat Mensesneg saja. Di Istana itu yo wiku. Saya juga heran, macam-macam isunya.”
Saya lantas mengajukan gagasan baru untuk menciptakan situasi kondisi politik yang kondusif menjelang tahapan Pilpres 2019. Saya sarankan Presiden agar berkenan menerima utusan ulama PA 212 yang direstui HRS untuk berkomunikasi dengan Presiden menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah.
“Apa yang mereka inginkan Pak Usamah?”
“Ya, tabayyun Pak. Pertama, beri ruang dakwah seluas-luasnya, dengan menghentikan kriminalisasi ulama. Kedua, Habib Rizieq diizinkan pulang. Ketiga, pemberdayaan ekonomi umat. Saya kira hanya itu saja, Pak.”
“Lha, saya kan sudah berkali-kali bilang sama Pak Usamah, juga di berbagai kesempatan bertemu ulama, saya ini gak pernah merasa melakukan kriminalisasi ulama. Lha wong ulama yang dituduh dikriminalisasi saja saya gak tahu, saya gak kenal, yang mana? Kok itu terus yang dipersoalkan. Kalau masalah hukum, ya harus diselesasikan secara hukum,” tandas Presiden.
“Mohon maaf Bapak Presiden, justru masalah itu yang harus disampaikan Bapak Presiden kepada mereka, agar mereka bisa berkomunikasi langsung dengan Bapak.”
Baca Juga: Prediksi Indonesia Punah, Relawan Jokowi: Emang Prabowo Tuhan?
Presiden tercenung sejenak.
“Soal Pak Habib. Lhaaa, saya ini gak pernah musuhi dia. Buat apa musuhi dia. Saya juga paham kok, di belakangnya Pak Usamah ini ada Pak Habib. Ada umat Islam yang tujuh juta itu. Kalau saya musuhi 212, gak mungkin saya terima Pak Usamah bicara berdua di Istana seperti ini. Saya ini kan Presiden Republik Indonesia. Saya juga tiap hari dapat laporan intelijen. Saya tahu kalau Pak Usamah juga memimpin demo ke Istana. Saya tahu, kalau Pak Usamah juga menggugat Presiden di Pengadilan PTUN. Tetapi saya pikir-pikir, Pak Usamah dan aktivis 212 itu kan juga warga Indonesia, warga saya. Untuk apa saya musuhi! Lha wong saya Presiden kok.” Suara Presiden sejenak terhenti, lantas melanjutkan.
“Saya ini banyak sekali urusannya Pak Usamah. Dalam negeri lihat saja, urusan sosial dan ekonomi, urusan politik, urusan hukum dan korupsi, urusan pembangunan infrastruktur, biar negara kita itu berkeadilan. Saya sekarang lagi fokus memikirkan kemajuan pembangunan di negeri ini, mikirkan nasib rakyat kecil yang ada di desa-desa itu lho. Belum lagi urusan hubungan luar negeri. Kurang kerjaan apa saya mikirkan demo… demo.. demo. Kok saya terus menerus yang disudutkan?”
“Karena itu Bapak Presiden, agar situasi kondusif, terima mereka. Dengarkan keinginannya. Insya Allah suasana akan lebih teduh,” saya meyakinkan.
Presiden tak menjawab. Hanya tepekur, sesaat menatap wajah saya.
“Baiklah, mau di mana pertemuannya?”
“Saran saya Shalat Subuh berjamaah Rabu di Masjid Istana Bogor Pak, kemudian dilanjutkan sarapan pagi sambil berbincang. Biar suasana santai dan akrab.”
“Bagus, nanti malam saya kabari Pak Usamah, melalui Mensesneg. Saya bahas dulu dengan tim kecil Istana,” ujar Presiden dalam pertemuan singkat selama 10 menit itu.
Hasil rembukan dengan Mensesneg, karena berbagai kesibukan Presiden, akhirnya disepakati pertemuan berlangsung Ahad siang, 22 April 2018, Shalat Zhuhur berjamaah di Masjid Istana Bogor.
Hanya enam ulama dari sembilan ulama dan tokoh yang direncanakan bertemu Presiden yang berada di Jakarta, Ahad itu. Tiga lainnya, KH Husni Thamrin, KH Misbachul Anam, dan Ustadz Sukma sedang mengadakan pertemuan ulama Jawa Timur di Malang. Enam yang hadir bersama saya adalah Ketua GNPF Ulama Yusuf Martak, Ketua PA 212 Ustadz Selamat Ma’arif, Ketua Umum FPI Ustadz Sobri Lubis, Penasihat Adz-Zikra KH Raud Bahar, dan Sekjen FUI Ustdaz Muhammad Al-Khaththath.
Apa yang terjadi dalam pertemuan itu, sudah dilansir berbagai media massa. Memang yang ramai dihebohkan media, utamanya medsos, persoalan yang tidak substansial, yakni beredarnya foto pertemuan yang semula dianggap tertutup tersebut. Padahal, pada saat makan siang, setelah semua ulama menyampaikan tuntutannya atas pemulangan HRS, Presiden secara tegas menyatakan akan menyampaikan kepada Kapolri.