Dalam memberikan dukungan psikososial, pekerja sosial RSDC Wisma Atlet juga menghadapi berbagai tantangan di lapangan.
“Kemampuan kami diasah saat berhubungan langsung dengan penyintas. Ketika melalui proses dalam memecahkan kendala, itu menjadi sebuah pola yang biasa dan rutin dijalankan. Rasa takut dan was-was dalam menjaga imunitas tubuh juga sering dirasakan, namun profesionalitas dalam bekerja membuat kami dapat menyelesaikan tugas dengan baik,” ungkap Wina.
Lantas, siapa yang pantas disebut sebagai pahlawan di masa pandemi ini? Milly dan Wina memiliki pendapat yang sedikit berbeda.
“Pahlawan paling utama di masa pandemi adalah tenaga medis yang berjuang langsung di titik episentrum penanganan Covid-19. Secara statistik, banyak korban meninggal akibat Covid-19 berasal dari tenaga medis. Selain itu, tim pendukung tenaga medis seperti tim logistik, relawan non medis, edukator masyarakat, satgas penanganan Covid-19 level nasional maupun daerah, juga patut disebut sebagai pahlawan karena tanpa dukungan mereka, penanganan dampak Covid-19 tidak akan berjalan maksimal,” ujar Milly.
Lain halnya dengan Wina. Ia memilih mengurus para penyintas Covid-19 dan orang-orang yang merangkul penyintas Covid-19 dengan tangan terbuka.
“Di masa pandemi ini, stigma sosial sangat erat kaitannya dengan penyintas, sehingga menurut saya, orang-orang yang bisa memberikan ruang lingkup bagi penyintas agar mereka bisa berfungsi sosial secara normal, layak disebut sebagai pahlawan,” kata Wina.
Milly dan Wina turut menyampaikan harapan mereka terhadap penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia.
“Semoga apa yang telah kami rintis akan menggugah, khususnya pekerja sosial di seluruh Indonesia, sebab kiprah mereka sangat dibutuhkan sebagai bagian dari pelayanan Rumah Sakit Darurat Covid-19,” ujar mereka.
Menjelang setahun setelah kemunculannya, pandemi telah mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit, baik secara material maupun non material. Selain berdampak langsung pada kesehatan fisik, Covid-19 juga mempengaruhi kesehatan mental yang dipicu oleh berbagai faktor, diantaranya ketakutan dan kepanikan terhadap besarnya potensi penularan Covid-19, transparansi pemerintah dalam mengambil kebijakan yang belum membuat masyarakat merasa aman, pengisolasian diri dalam karantina yang membatasi interaksi sosial masyarakat secara langsung, terbatasnya alat dan tenaga medis, hingga informasi simpang siur tentang Covid-19 yang beredar di masyarakat.
Baca Juga: Kemensos Salurkan Bantuan Program Keserasian Sosial dan Kearifan Lokal