Kisah Anak Transmigran Merantau ke Jakarta: Apa yang Terjadi di Kampungnya?

Siswanto Suara.Com
Senin, 24 Mei 2021 | 07:00 WIB
Kisah Anak Transmigran Merantau ke Jakarta: Apa yang Terjadi di Kampungnya?
Ilustrasi transmigran [elements.envato]

Keluarga Firman memiliki lima hektare lahan, begitu juga empat kepala keluarga yang berangkat ke Lampung Utara bersama mereka.

Setiap keluarga, kata Firman, bebas hendak menanam tanaman apa saja di lahan yang disediakan pemerintah.

“Tujuane kan asline ngene, dulu Lampung itu jarang penghuninya. Biar akeh penghuninya. Mungkin mendatangkan transmigran dari Jawa karena sregep,” katanya.

Orangtua Firman pada tahun-tahun pertama menggarap ladang, menanamkan singkong dan padi.

Mereka memilih komoditas tersebut, selain untuk makan, juga untuk dijual karena pada waktu itu harga di pasaran sedang bagus-bagusnya.

Tanaman singkong dari tanam sampai panen membutuhkan waktu sekitar tujuh bulan, sedangkan masa hidup padi sekitar tiga bulan sampai empat bulan.

Tetapi hasil panen yang didapat pada masa transisi belum menguntungkan dan barangkali karena alasan itulah kenapa tahun-tahun pertama pemerintah memberikan jaminan hidup kepada transmigran, seperti sembako dan semacamnya.

Firman berkata, “Awalan bukaan (membuka) ladang hasil pertanian banyak yang bosok, kadang gagal. Memang begitu, awalan ya mesti ndadekne dhisik.”

Sepotong cerita kehidupan di tempat transmigrasi

Baca Juga: Kisah Kontraktor Kenyang Hadapi Para Pemalak Proyek

Firman dilahirkan tahun 1997 di rumahnya, Lampung Utara. Proses kelahirannya dibantu seorang dukun desa. Firman anak ketiga dari empat bersaudara.

Sekarang ini, Firman menjadi satu dari sekian banyak anak transmigran yang ditempatkan di Lampung Utara yang kemudian merantau lagi ke Pulau Jawa.

Setelah beberapa kali pindah kerja (dari Jakarta sampai Tangerang), sekarang dia berdagang di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Mengapa dia memutuskan merantau ke Pulau Jawa menjadi alasan utama saya menemuinya siang hari itu.

Ketika saya temui, Firman sedang sibuk melayani pelanggan lumpia dan tahu petis. Saya harus menunggu dia sampai benar-benar memiliki waktu untuk berbagi cerita.

Firman mencoba mengingat-ingat kembali masa kecilnya di Lampung Utara, kemudian seperti apa perkembangan ekonomi daerahnya yang kemudian menjadi alasan remaja-remaja seusianya memutuskan merantau ke Pulau Jawa atau Pulau Bali.

Firman mengenyam pendidikan sekolah tingkat dasar berbasis agama Islam. Seangkatan dia, murid-muridnya mayoritas anak transmigran dari Jawa, Bali, dan Lombok.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI