Ini, katanya, telah berlangsung sepanjang sejarah.
"Pada intinya, Kekristenan adalah keyakinan misionaris, dimotivasi oleh gagasan jika Injil Kristen adalah kabar baik bagi semua orang dari setiap bangsa dan budaya yang harus diundang untuk mempelajari, dan mungkin menerimanya," katanya kepada ABC.
"Mereka melakukan hal-hal luar biasa untuk meningkatkan kehidupan orang-orang yang mereka datangi dan sangat mereka cintai," ujarnya.
Simon mengatakan pekerjaan dengan itikad baik ini kadang dinodai oleh misionaris yang datang ke situasi berbahaya atau menyebabkan kerusakan pada masyarakat tempat mereka bertugas.
"Tak dapat disangkal ada gerakan misionaris yang telah merusak orang-orang yang mereka temui, tidak menghormati adat, bahasa atau budaya setempat, tidak peka dan mungkin tidak mengerti konteksnya," katanya.
Para kritikus berpendapat penggunaan misionaris di masa lalu, sebagai alat kolonialisasi bangsa Barat dan Eropa, menjadi bukti fundamental adanya mentalitas penyelamatan yang dimiliki orang kulit putih.
Pendapat lainnya menyoroti faktor keamanan, seperti dalam kasus John Allen Chau, seorang penginjil asal Missouri, Amerika Serikat, yang terbunuh pada tahun 2018 ketika mendekati suku terpencil di Pulau Sentinel Utara.
Chau masuk ke pulau tersebut dengan melanggar peraturan yang ditetapkan Pemerintah India.
Chau menulis dalam buku hariannya tentang seorang anak yang melepaskan panah ke arahnya. Dia mengaku selamat tanpa cedera karena anak panahnya mengenai Alkitab yang dia pegang di dadanya.
Baca Juga: Jumlah Korban Akibat Ledakan Truk Bahan Bakar di Haiti Bertambah, Jadi 75 Orang
'Saya bisa berakhir seperti dia'
Tidak semua misionaris berbahaya secara fisik. Dalam beberapa kasus, hasilnya justru jauh dari tujuan.
Penulis dan cendekiawan yang menyebut dirinya "eksvangelis", Chrissy Stroop, dikenal sangat kritis terhadap pekerjaan misionaris Kristen.
Chrissy tumbuh di lingkungan Gereja Kristen evangelis dari berbagai denominasi di Indiana dan Colorado, dan terlibat dalam kegiatan misionaris sejak usia 19 tahun.
Dalam artikelnya di buku 'Empty the Pews: Stories of Leaving the Church', Chrissy menulis tentang Chau:
"Saya langsung berpikir, seandainya saya bertahan dalam Kekristenan evangelis, saya bisa berakhir seperti dia."
Misi pertama Chrissy yakni ke Rusia. Kelompoknya ditugaskan untuk menggunakan bagian-bagian Alkitab Protestan untuk mengajar Bahasa Inggris kepada murid Kristen Ortodoks di Vladimir, sekitar 200 kilometer sebelah timur Moskow.