Kemudian, sejumlah warga juga mengaku diintimidasi oleh oleh polisi untuk tidak merekam peristiwa dan menghapus file rekaman penangkapan, ini diduga upaya polisi untuk menghilangkan jejak dan bukti.
Kejanggalan keenam, semua Laskar FPI mengalami luka tembak pada titik yang mematikan yakni di dada kiri, KontraS menilai hal ini tidak masuk akal karena dalam kondisi perebutan senjata di dalam mobil bisa terjadi luka tembak pada titik mematikan.
Kejanggalan terakhir, Fatia menilai putusan majelis hakim yang menyebut tindakan polisi masuk dalam kategori pembelaan terpaksa yang melampaui batas, tidak bisa dibenarkan.
"Kalaupun penggunaan senjata api tersebut diperlukan, penembakan yang dilakukan sudah semestinya ditujukan pada titik yang melumpuhkan bukan pada titik yang mematikan atau jika memang saat itu sedang dalam kondisi yang begitu krusial sedapat mungkin untuk meminimalisir kerusakan atau luka, akibat penggunaan kekuatan yang digunakan," tuturnya.
KontraS menilai vonis bebas terhadap dua orang anggota Polri pelaku unlawfull killing terhadap laskar Front Pembela Islam (FPI) menambah daftar impunitas brutalitas polisi.
"Selain itu kami juga khawatir dengan adanya Putusan tersebut, menjadi legitimasi bagi anggota Polri di lapangan untuk kembali melakukan tindakan unlawful killing," imbuh Fatia.
Diketahui, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memeriksa dan mengadili perkara dugaan pembunuhan di luar proses hukum (unlawful killing) terhadap Laskar Front Pembela Islam (FPI), memutus lepas Terdakwa Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda Yusmin Ohorella.
Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa unsur-unsur pidana yang didakwakan terbukti. Namun, berdasarkan Pasal 49 KUHP, Majelis Hakim menilai perbuatan terdakwa sebagai pembelaan terpaksa sehingga tidak dapat dijatuhkan pidana.
Baca Juga: Vonis Lepas Polisi Pembunuh Laskar FPI, LBH: Majelis Hakim PN Jaksel Harus Dievaluasi