- Seorang nenek viral ditolak membayar roti dengan uang tunai di gerai Roti'o, memicu perdebatan pro dan kontra publik.
- Penolakan pembayaran tunai Rupiah merupakan pelanggaran hukum berdasarkan Pasal 33 ayat (2) UU Mata Uang.
- Pakar hukum dan anggota DPR mendesak pemerintah serta Bank Indonesia menindak tegas penolakan transaksi uang tunai sah.
Suara.com - Seorang nenek berkerudung terlihat duduk dengan muka yang meringis viral lewat video di media sosial. Bukan tanpa sebab, dirinya nampak memendam kekecewaan usai ditolak membayar sepotong roti dengan uang tunai atau cash.
Video itu sendiri awalnya memperlihatkan seorang pemuda yang sedang memarahi petugas gerai roti bernama Roti'o.
Pemuda itu merasa geram lantaran petugas gerai roti tersebut telah menolak pembayaran atau transaksi pembelian dari seorang nenek dengan uang tunainya.
Petugas gerai beralasan kalau dirinya hanya menerapkan SOP, untuk itu hanya menerima layanan pembayaran nontunai.
Video yang diunggah di akun Tiktok @arlius_zabua, Jumat (19/12/2025) sontak menjadi viral dan menuai berbagai macam komentar, ada yang pro dan ada yang kontra.
Pihak gerai Roti'o sendiri sudah memberikan klarifikasinya. Pihaknya mengaku bakal mengevaluasi internalnya pasca adanya kejadian tersebut.
Pihaknya menjelaskan kalau pemberlakuan pembayaran nontunai dilakukan lantaran untuk berbagai promo pada pelanggan.
"Terkait hal ini, sudah kami terima dan saat ini sedang kami evaluasi secara internal agar ke depannya layanan kami dapat berjalan dengan lebih baik. Terima kasih atas perhatiannya," tulis akun Roti'o di media sosial.
Lantas, bagaimana sebenarnya aturan soal transaksi perbelanjaan? Bolehkah pembayaran tunai Rupiah kini ditolak?
Baca Juga: Ketua Banggar DPR Said Abdullah: Merchant Tolak Pembayaran Tunai Bisa Dipidana
Ternyata berdasarkan aturan hukum, kalau ada penolakan transaksi dengan uang cash Rupiah, itu.masuk dalam kategori pelanggaran.
Hal itu sebagaimana dijelaskan oleh Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fuckar Hadjar.
Menurutnya, memang pembayaran nontunai terkesan lebih sederhana dan cepat untuk sebuah transaksi. Itulah mengapa kekinian banyak gerai atau merchant berlomba-lomba dalam menerapkan transaksi nontunai.
Akan tetapi hal itu bisa menjadi potensi pelanggaran hukum bila merchant menolak pembayaran tunai selama itu menggunakan mata uang Rupiah.
Aturan itu tertuang dalam Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang tentang Mata Uang. Dalam aturan disebutkan jika setiap orang yang menolak pembayaran uang rupiah sebagai alat pembayaran, bisa dikenai kurungan pidana paling lama 1 (satu) tahun dan denda maksimal ratusan juta rupiah.
"Dalam Pasal 33 ayat (2) UU Mata Uang disebutkan bahwa setiap orang yang menolak rupiah sebagai alat pembayaran dapat dikenai: pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun; dan. denda maksimal Rp200 juta," kata Fickar saat dihubungi Suara.com, Senin (29/12/2025).
Menurutnya, bagi yang merasa dirugikan, bisa melaporkan kejadian penolakan tersebut ke Dinas Perdagangan di setiap Pemerintah Daerah (Pemda).
"Memang pembayaran noncash itu lebih sederhana dan cepat, tapi sepanjang pembayaran dilakukan dengan Rupiah, maka penolakan itu sebuah pelanggaran, karena Rupiah adalah mata uang resmi RI. Jadi bisa dilaporkan ke Dinas Perdagangan Pemda," ujarnya.

Sudah Jadi Kekhawatiran Sejak Lama
Adapun Ketua Komisi VII DPR RI, Saleh Partaonan Daulay, menyebut memang dirinya sudah lama mengkhawatirkan kejadian penolakan pembayaran uang cash dengan Rupiah ini.
"Sebelum kejadian ini, saya sudah lama mengkhawatirkan masalah ini. Saya takut ada orang yang benar-benar tidak punya kartu. Tidak bisa bayar cashless. Nah, dugaan saya benar, akhirnya terjadi juga. Bahkan lebih dari itu, sudah viral," kata Saleh dalam keterangannya, Kamis (25/12) lalu.
Kejadian penolakan juga pernah dialami oleh dirinya ketika ingin melakukan transaksi di beberapa restoran atau merchant.
"Padahal, atasan mereka itu adalah warga negara biasa. Karena itu, dia tidak boleh buat Undang-undang yang mengikat warga negara lain. Kalau semua orang boleh buat aturan seperti itu, dipastikan akan terjadi carut-marut. Wibawa negara sebagai negara hukum akan sangat dilemahkan," katanya.
Saleh memang menyadari teknologi digital tidak semuanya relevan dan bisa dipakai oleh semua orang.
Dan seorang nenek dalam kejadian ini adalah contoh orang yang menjadi korbannya.
"Kasihan, dia ditinggalkan zaman. Padahal, menurut UU, setiap orang harus menerima pembayaran pakai uang cash. Hanya dikecualikan jika uang tersebut diduga palsu. Dan yang menduga, harus membuktikannya. Jika tidak ada bukti bahwa uangnya palsu, tidak ada alasan untuk menolak pembayaran cash," ujarnya.
Contoh dari Negara Lain
Sementara itu, ternyata di negara lain yang sudah lebih maju dan kerap mengandalkan pembayaran nontunai di setiap gerai perbelanjaannya seperti Singapura, faktanya masih melayani transaksi pembayaran secara tunai.
Hal itu dikemukakan oleh Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Said Abdullah. Ia menyampaikan, Indonesia harus tetap realistis mengingat adanya kendala infrastruktur dan tingkat literasi keuangan.
“Sebagai perbandingan, di Singapura, negara maju dengan layanan cashless paling baik saja mereka masih memberikan layanan pembayaran tunai hingga 3000 SGD, dan di banyak negara maju juga masih melayani pembayaran tunai," kata Said kepada wartawan, di Jakarta, Jumat (26/12/2025).
Menurutnya, Indonesia sendiri tidak melarang, bahkan mendukung pihak merchant menggunakan pembayaran non tunai, akan tetapi jangan menutup pihak pembeli atau rekanan membayar dengan tunai. Opsi itu harus tetap diberikan layanannya.
Ia menilai, pembayaran uang cash dengan Rupiah masih harus diterima setiap merchant. Pasalnya tidak semua daerah maupun warga di Indonesia tercover layanan internet.
Pada saat yang bersamaan juga, kata dia, tingkat literasi keuangan warga Indonesia juga masih rendah dan masih belum merata.
"Pada saat yang sama sudah menjadi rahasia umum, literasi keuangan kita masih rendah. Sekali lagi saya berharap Bank Indonesia menekankan ini kepada para pelaku usaha di Indonesia, dan yang melakukan penolakan penggunaan mata uang nasional Rupiah ditindak,” kata Said.
Jalan Tengah untuk Semua
Adapun jalan tengah dari adanya masalah ini disebut menjadi tugas dari negara. Negara disebut wajib lebih getol untuk mensosialisasikan mengenai regulasi terkait transaksi pembayaran.
"Ya ini tugas negara atau pemerintah berkuasa mensosialisasikannya, meskipun dalam hukum itu setiap orang dianggap tahu hukum yang ada dalam setiap UU, termasuk UU Mata Uang, karena itu semua aturan UU itu bisa dilihat dan dibaca dalam berita negara yang bisa diakses oleh siapapun," kata Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fuckar Hadjar.
Sementara DPR RI memberikan solusi senada untuk menengahi permasalahan tersebut. Baik Saleh maupun Said sama-sama mendorong baik Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia harus turun tangan.
"Jangan lemah dalam menegakkan aturan. Apalagi, aturan tersebut secara eksplisit disebutkan di dalam Undang-Undang," kata Saleh.
Kemudian Said meminta Bank Indonesia (BI) juga harus ikut mengedukasi masyarakat, bahwa Rupiah masih menjadi mata uang nasional dan menjadi alat pembayaran yang sah.
"Jangan hanya karena penggunaan layanan pembayaran digital, lalu pihak merchant tidak memberikan opsi bagi pembayaran memakai Rupiah secara tunai. Pemerintah dan DPR belum merevisi pembayaran dengan uang tunai (Rupiah), maka wajib bagi siapapun di Indonesia untuk menerimanya," pungkasnya.
