
Secara konstitusional, ratu atau raja Inggris memiliki sedikit kekuatan praktis dan diharapkan untuk menjadi non-partisan.
Namun, para sejarawan mengatakan Elizabeth telah menggunakan kekuatan "lembut" dan menjadikan monarki Inggris sebagai titik fokus pemersatu bagi bangsa di tengah perpecahan masyarakat yang besar.
Kekuatan lembut itu dicontohkan Ratu Elizabeth II melalui siarannya untuk meyakinkan publik pada awal pandemi Covid-19.
Selain segala keributan politik, sang ratu masih menyempatkan diri bertemu perdana menteri untuk suatu audiensi mingguan pribadi.
"Mereka melepaskan beban dari diri mereka atau mereka memberi tahu saya apa yang sedang terjadi atau jika mereka punya masalah, dan terkadang seseorang dapat membantu dengan cara itu juga," kata Ratu Elizabeth II dalam sebuah film dokumenter pada 1992.
"Mereka tahu bahwa seseorang, boleh dikatakan, bisa tidak bersikap memihak. Saya pikir agak menyenangkan untuk dapat merasa bahwa ada seseorang yang bertindak seperti semacam spons," ujar sang ratu.
Para mantan pemimpin pemerintahan Inggris mengatakan pengalaman Ratu Elizabeth II selama bertahun-tahun telah terbukti sangat membantu, memungkinkan mereka untuk berbicara dengan jujur tanpa takut percakapan mereka akan dipublikasikan.
"Anda bisa benar-benar jujur, bahkan sampai bersikap tidak bijaksana (saat berbicara) dengan ratu," kata John Major, perdana menteri Inggris periode 1990-1997.
Tony Blair, yang menggantikan Major dan menjadi perdana menteri selama satu dekade, mengatakan: "Ia (Ratu Elizabeth II) akan menilai situasi dan kesulitan dan dapat menggambarkannya tanpa pernah ... memberikan petunjuk apa pun tentang preferensi politiknya atau semacamnya. Sangat luar biasa untuk dilihat".
Baca Juga: Meghan Markle Tidak Diundang ke Balmoral Jelang Kematian Ratu Elizabeth II
Beberapa sejarawan mengatakan Ratu Elizabeth II akan dipandang sebagai yang terakhir dari jenisnya, yakni seorang pemimpin kerajaan dari masa ketika para elit memerintahkan rasa hormat yang tidak perlu dipertanyakan lagi.