Ia berasal dari keluarga yang cukup terpandang di daerah asalnya. Bahkan ayahnya, Andreas Karma, pernah menjabat sebagai Bupati Wamena dan Serui.
Pada 1979, Filep hijrah ke Solo, Jawa Tengah untuk menempuh pendidikan tinggi di Universitas Sebelas Maret jurusan Ilmu Politik.
Ketika disana ia kerap mengalami diskriminasi dan sebagai orangPapua ia bahkan sering dianggap sebagai manusia yang tidak sempurna.
"Selama sekolah di Jawa, kitorang yang dari Papua sering dianggap setengah binatang. Kitorang dianggap seakan-akan kitorang evolusi dari teori Darwin, proses dari hewan berubah jadi manusia," kata Filep Karma dalam bukunya, 'Seakan Kitorang Setengah Binatang'.
Setelah lulus pada 1987, Filep kembali ke Papua dan bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di Jayapura. Ia lalu menikah dengan Ratu Karel Lina, perempuan Jawa-Melayu. Dari pernikahan itu, ia dikaruniai dua orang anak.
Pada 1997, Filep melanjutkan studinya di Asian Instutute of Management, Manila, Filipina. Namun sayang ia hanya menjalaninya selama 11 bulan dan tidak menyelesaikan studi tersebut.
Memperjuangkan kemerdekaan Papua
Pada 2 Juli 1998, Filep Karma memimpin sebuah demonstrasi di Biak, papua. Demonstrasi tersebut menuntut kemerdekaan Papua dan bahkan ia sempat mengibarkan bendera Binyang Kejora.
Ia dan 75 orang lainnya berkumpul, bernyanyi dan meneriakkan yel-yel kemerdekaan Papua. Aparat lalu bertindak represif dengan menembakkan gas air mata.
Baca Juga: Filep Karma Ditemukan Tak Bernyawa di Pantai Base G, Veronica Koman: Keluarga Masih Terguncang
Namun massa bergeming, enggan untuk bubar dan tidak mau menurunkan bendera Bintang Kejora yang telah dikibarkan.