Suara.com - Dunia kehilangan hutan lebih cepat dari kemampuan bumi untuk memulihkannya. Kini, kita tak hanya tahu di mana pepohonan hilang, tapi juga mengapa mereka tak kembali.
Laporan terbaru dari World Resources Institute (WRI) dan Google DeepMind memetakan penyebab deforestasi secara rinci, mengungkap fakta mengejutkan: sepertiga dari seluruh kehilangan tutupan pohon global sejak 2001 bersifat permanen.
Artinya, pohon-pohon itu tak akan tumbuh kembali secara alami. Demikian seperti dilansri dari Euronews, Jumat, (13/06/2025).
Pertanian, pertambangan, dan pembangunan infrastruktur menjadi penyebab utamanya. Data ini mengingatkan kita bahwa hilangnya hutan bukan sekadar dampak teknis, tapi sebuah peringatan ekologis yang tak bisa diabaikan.
“Kita sudah lama mengetahui di mana hutan hilang. Sekarang kita lebih memahami alasannya,” kata Michelle Sims, rekan peneliti di WRI.
“Pengetahuan ini penting untuk mengembangkan tindakan yang lebih cerdas di tingkat regional, nasional, dan bahkan lokal - untuk melindungi hutan yang tersisa dan memulihkan hutan yang terdegradasi.”
![Ilustrasi Deforestasi(Penggundulan Hutan).[Unsplash.com]](https://media.suara.com/pictures/original/2022/05/09/52434-ilustrasi-deforestasipenggundulan-hutanunsplashcom.jpg)
Temuan tersebut juga membongkar mitos lama: bahwa semua hutan bisa pulih seiring waktu. Faktanya, sebanyak 177 juta hektar hutan yang hilang antara 2001 dan 2024 tidak akan kembali.
Dari angka itu, 95 persen disebabkan oleh pertanian berkelanjutan, dan separuhnya terjadi di kawasan hutan hujan tropis, rumah bagi keanekaragaman hayati tertinggi dan penyimpan karbon terbesar di bumi.
Itu berarti, hampir seluas Thailand telah berubah fungsi secara permanen. Dari hutan menjadi lahan pertanian, tambang, atau kota.
Baca Juga: Bawa Botol Minum Sendiri: Kebiasaan Kecil yang Selamatkan Laut dan Iklim
Namun, bukan berarti tak ada solusi. Laporan ini bukan sekadar alarm, tetapi juga peta jalan. Teknologi penginderaan jauh dan kecerdasan buatan kini bisa mengidentifikasi pola deforestasi dengan lebih akurat. Data ini memberi peluang bagi pemerintah, masyarakat adat, hingga pelaku industri untuk merancang strategi yang sesuai dengan konteks wilayahnya.
Di Eropa, misalnya, 91 persen kehilangan tutupan pohon disebabkan oleh penebangan terencana. Di Swedia, penebangan bahkan menyumbang 98 persen dari total kehilangan tutupan pohon. Tapi negara ini juga menerapkan sistem regenerasi hutan: pohon ditanam kembali atau dibiarkan tumbuh alami. Ini bukan sistem yang sempurna, tapi menunjukkan bahwa pengelolaan hutan bisa diarahkan agar tetap produktif sekaligus berkelanjutan.
Namun, harapan semacam itu tak selalu berlaku global. Di wilayah tropis dan subtropis, perubahan iklim, kebakaran, serta tekanan ekonomi membuat regenerasi hutan menjadi jauh lebih kompleks.
“Hanya karena pohon tumbuh kembali, bukan berarti hutan kembali ke keadaan semula,” ujar Radost Stanimirova, peneliti WRI lainnya.
Pohon-pohon yang baru tumbuh seringkali menyimpan lebih sedikit karbon, memiliki keanekaragaman hayati yang lebih rendah, dan lebih rentan terhadap gangguan di masa depan.
Laporan ini menyarankan beberapa langkah konkret: memperkuat hak tanah masyarakat adat dan lokal, merancang kebijakan pertanian yang relevan dengan kondisi lokal, serta mengedepankan tata ruang ekologis dalam pembangunan infrastruktur. Peraturan Deforestasi Uni Eropa juga disebut sebagai salah satu regulasi yang perlu ditegakkan secara serius, agar rantai pasok global tak terus mendorong deforestasi di negara produsen.