Suara.com - Dunia tengah menghadapi lima tantangan besar yang saling berkaitan: cuaca ekstrem, krisis sistem bumi, keruntuhan keanekaragaman hayati, pemanasan global, dan kelangkaan sumber daya alam.
Bagi Fasilitator Nasional Interfaith Rainforest Initiative (IRI) Indonesia, Hayu Prabowo, ini bukan sekadar daftar isu lingkungan, melainkan peringatan bahwa krisis ini sudah menyentuh ranah moral dan spiritual.
Indonesia sendiri menghadapi dampak serius. Data Global Forest Watch menunjukkan, selama 2002–2023, negara ini kehilangan sekitar 10,5 juta hektare hutan tropis primer—setara 11 persen dari total luas hutan pada 2001. Hilangnya hutan berdampak langsung pada pasokan air bersih, pangan, dan keselamatan masyarakat yang hidup di sekitarnya.
“Kalau kondisi ini berlanjut, akan muncul gelombang pengungsi iklim atau climate refugee. Ini bukan sekadar narasi, tapi ancaman nyata,” ujar Hayu.
Ia menyebutkan masjid-masjid di Jakarta Utara yang kini kerap terendam rob sebagai contoh konkret bahwa perubahan iklim sudah menyentuh rumah ibadah.
Melihat kenyataan itu, IRI Indonesia merespons dengan meluncurkan buku panduan dan khutbah pelestarian lingkungan untuk enam agama resmi di Indonesia.
Buku ini tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga memuat pesan-pesan spiritual yang dapat digunakan di rumah-rumah ibadah untuk menggerakkan kesadaran umat.
“Buku ini kami susun sebagai panduan spiritual dalam merespons krisis iklim dan kerusakan hutan, serta bentuk dukungan terhadap pembangunan berbasis lingkungan,” kata Hayu.
Peluncuran dilakukan dalam kegiatan pembekalan ilmiah untuk pemuka agama dan komunitas keagamaan di Jakarta, Rabu lalu. Sekitar 450 tokoh agama hadir dari berbagai wilayah, tak hanya untuk menerima materi, tetapi juga membahas aksi nyata yang bisa dilakukan di komunitas masing-masing.
Baca Juga: Terobosan RIPE: Rekayasa Genetika Selamatkan Ketahanan Pangan dari Krisis Iklim?
Bagi Hayu, rumah ibadah memegang peran penting dalam menjangkau masyarakat akar rumput. Di titik inilah bahasa iman menjadi jembatan untuk membangun kesadaran kolektif.
Kegiatan ini turut didukung berbagai lembaga negara seperti Kementerian Kehutanan (Kemhut), BMKG, BNPB, BRIN, serta lembaga riset CIFOR-ICRAF.
Kepala Pusat Pengembangan Mitigasi dan Adaptasi Bencana Hidrometeorologi Kemhut, Wening Sri Wulandari, menyatakan dukungan penuh atas inisiatif ini.
"Inisiatif ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam pelestarian lingkungan," ujarnya. Kemhut sendiri menargetkan rehabilitasi 12,7 juta hektare lahan kritis hingga 2029, melibatkan masyarakat dan menciptakan lapangan kerja hijau.
Lewat buku ini, rumah ibadah didorong menjadi ruang edukasi dan aksi lingkungan. Pesannya disampaikan dalam bahasa yang paling dekat dengan umat: bahasa iman.
Sebab menjaga bumi bukan hanya urusan teknis atau kebijakan publik—melainkan panggilan spiritual lintas agama, demi masa depan bersama.