Pemilu Nasional-Lokal Dipisah, Bivitri Bela Putusan MK, Begini Katanya!

Selasa, 01 Juli 2025 | 15:32 WIB
Pemilu Nasional-Lokal Dipisah, Bivitri Bela Putusan MK, Begini Katanya!
Pemilu Nasional-Lokal Dipisah, Bivitri Bela Putusan MK, Begini Katanya! (YouTube)

Suara.com - Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal pemisahan pemilu nasional dan lokal masih dalam koridor tugas konstitusional karena hanya sebatas menafsirkan norma undang-undang.

“Kalau dikatakan putusan MK itu melanggar konstitusi, saya tidak setuju. Apa yang mereka (MK) lakukan masih dalam tugas konstitusional mereka,” kata Bivitri saat ditemui di Gedung MK, Jakarta, Selasa.

Dia menjelaskan Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang amarnya memerintahkan ada jeda waktu antara pemilu nasional dan lokal merupakan hasil dari penafsiran norma suatu pasal terhadap konstitusi.

Ia tidak setuju dengan pandangan yang menyebut putusan tersebut menjadikan MK sebagai positive legislator. Sebab, dalam putusan dimaksud, MK meminta pembentuk undang-undang untuk melakukan rekayasa konstitusional dalam hal mengatur masa transisi pemisahan pemilu nasional dan lokal.

“Mereka (MK) minta tolong pembentuk undang-undang ‘kan, ‘Bikin, dong, rekayasa konstitusionalnya’, karena mereka memang tidak ada intensi untuk bikin undang-undang. Mereka benar-benar cuma menafsirkan pasal yang diminta,” kata Bivitri.

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (kanan) dan Wakil Ketua Saldi Isra (kiri) saat memimpin sidang putusan uji formil putusan nomor 90 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (16/1/2024). [Suara.com/Alfian Winanto]
Ilustrasi hakim Mahkamah Konstitusi. [Suara.com/Alfian Winanto]

Terlepas dari itu, Bivitri menyebut perdebatan soal posisi MK sebagai positive atau negative legislator sudah tidak lagi relevan. Dalam praktiknya, kata dia, MK RI berkembang menjadi penafsir konstitusi yang progresif seperti di MK Korea Selatan, Jerman, dan Turki.

Dia menduga, pernyataan yang bernada melemahkan putusan MK dilontarkan dari pihak-pihak yang merasa “diacak-acak”. Ia pun khawatir ke depannya akan ada pelemahan kelembagaan MK melalui revisi undang-undang ataupun penggantian hakim.

Di sisi lain, Bivitri memandang bahwa belakangan ini masyarakat banyak bergantung kepada MK melalui pengujian undang-undang. Ia menyebut MK merupakan benteng pertahanan demokrasi di Indonesia.

MK, Kamis (26/6), mengabulkan sebagian permohonan Perludem dalam Perkara Nomor 135/PUU-XXII/2024. MK memutuskan bahwa pemilu anggota DPRD dan kepala/wakil kepala daerah (pemilu lokal) digelar 2 atau 2,5 tahun sejak pelantikan anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden terpilih (pemilu nasional).

Baca Juga: Tudingan Beathor ke Jokowi Dinilai Keji, Hensa: Masa UGM Nyetak Ijazah di Pasar Pramuka? Itu Bahaya!

Menurut MK dalam pertimbangan hukum, desain penyelenggaraan pemilu selama ini mengakibatkan impitan sejumlah tahapan dalam penyelenggaraan pemilu DPR, DPD, presiden/wakil presiden, dan DPRD provinsi/kabupaten/kota dengan tahapan pemilihan kepala dan wakil kepala daerah.

Dengan adanya perimpitan itu, tumpukan beban kerja penyelenggara pemilu menjadi tak terelakkan. Dalam batas penalaran yang wajar, Mahkamah menilai, kondisi yang demikian berpengaruh terhadap kualitas penyelenggaraan pemilu.

Hal lain yang disoroti MK dalam pertimbangan hukum, yaitu pelaksanaan Pemilu 2019 yang menyebabkan penyelenggara pemilu jatuh sakit dan meninggal dunia karena rumitnya teknis penghitungan suara dan terbatasnya waktu untuk rekapitulasi suara.

Sementara itu, dari segi rakyat pemilih, MK menilai pemilu beruntun dalam tahun yang sama berpotensi membuat pemilih menjadi jenuh dan tidak fokus.

MK turut menyinggung masalah pelemahan pelembagaan partai jika pemilu nasional terus digelar berdekatan dengan pemilu lokal. Partai politik menjadi tidak memiliki cukup waktu untuk menyiapkan kadernya sehingga mudah terjebak dalam pragmatisme. (Antara)

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI