Rinjani Memakan Korban: Guru Besar UGM Ungkap Fakta Mengerikan di Balik Keindahannya

Senin, 21 Juli 2025 | 13:36 WIB
Rinjani Memakan Korban: Guru Besar UGM Ungkap Fakta Mengerikan di Balik Keindahannya
Tim SAR gabungan melakukan evakuasi terhadap korban yang jatuh di kawasan Gunung Rinjani, Lombok Timur, Provinsi NTB. (ANTARA/HO-Humas SAR Mataram)

Suara.com - Guru Besar Fakultas Geografi sekaligus Ketua Dewan Guru Besar Universitas Gadjah Mada, Baiquni, mengurai mitigasi risiko di Gunung Rinjani.

Adapaun saat ini gunung yang berada di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat tersebut tengah menjadi sorotan.

Terlebih setelah beberapa kali insiden kecelakaan yang melibatkan pendaki.

Baiquni menyebut Gunung Rinjani memiliki karakter topografi yang tidak bisa dianggap remeh.

Sebagai orang yang sudah pernah mendaki Rinjani tahun 1983 silam, ia mengungkap bahwa medan yang terbentuk dari aktivitas vulkanik menghasilkan tebing curam, kaldera tajam, dan paparan gas sulfur yang beresiko tinggi bagi pendaki pemula.

"Gunung Rinjani terbentuk dari intrusi magma yang mengangkat Pulau Lombok. Kaldera yang curam, tebing-tebing tajam, serta keberadaan danau Segara Anak membuatnya berbeda dari pegunungan non-vulkanik seperti Alpen atau Andes," kata Baiquni dalam keterangannya, Senin (21/7/2025).

Baiquni menilai kondisi fisik gunung tak semata-mata menjadi risiko pendakian.

Ketidaksiapan psikologis dan kurangnya edukasi bagi wisatawan dapat berpengaruh dalam pendakian.

Apalagi medan vulkanik memiliki potensi bahaya berbeda dengan gunung-gunung lain.

Baca Juga: UGM Sudah Klarifikasi, Kenapa Ijazah Jokowi Masih Diragukan?

"Wisatawan yang belum terbiasa dengan karakter gunung vulkanik bisa linglung bahkan halusinasi ketika terpapar sulfur atau saat berada di ketinggian dengan oksigen tipis," tuturnya.

Tak Melulu Fisik tapi Ego dan Emosi

Menurut Baiquni pendakian buka hanya soal kekuatan fisik saja melainkan kemampuan mengelola ego dan emosi.

Pendakian seharusnya menjadi ruang kontemplatif yang menantang pelakunya untuk mengenali dirinya sendiri.

"Saya selalu ingat quote dari Reinhold Messner, it’s not the mountain we conquer, but ourselves," ucap Baiquni.

Teknologi yang semakin maju, menurut Baiquni, telah membantu sistem navigasi dan informasi spasial bagi para pendaki gunung.

Namun tidak menggantikan pentingnya pengalaman dan insting lapangan.

Penggunaan peta digital atau aplikasi cuaca perlu didukung dengan pelatihan dasar survival dan etika tim atau orang-orang yang mendaki.

Baiquni mendorong agar pelatihan dasar seperti diklatsar, tali-temali, dan pembacaan medan dijadikan prasyarat pendakian.

Terutama bagi wisatawan asing yang belum familiar dengan ekosistem gunung Indonesia.

"Beda alat, beda naluri. Kadang orang terlalu fokus pada puncak sampai lupa diri," tandasnya.

Waspada Cuaca Ekstrem

Lebih lanjut, Baiquni menjelaskan, dalam manajemen destinasi, Gunung Rinjani sebenarnya telah menerapkan sistem buka-tutup jalur berdasarkan musim.

Penutupan jalur saat musim hujan merupakan strategi konservasi sekaligus pencegahan kecelakaan akibat cuaca ekstrem.

Walaupun memang diakui masih ada wisatawan yang nekat melanggaran aturan tersebut.

Bahkan ada yang menyusup masuk jalur pendakian yang belum dibuka resmi.

"Biasanya Januari hingga Maret ditutup. Ini bagian dari strategi visitor management yang sangat penting, agar unsur alam bisa pulih dan pendaki bisa merencanakan kunjungan dengan aman," tandasnya.

Dalam menghadapi perubahan iklim, sistem mitigasi perlu lebih adaptif dan prediktif.

Baiquni mengingatkan bahwa membaca tanda-tanda alam tidak hanya bergantung pada teknologi, tetapi juga pada pemahaman lokal dan intuisi alami.

Dia menekankan pentingnya penggabungan antara sains modern dan kearifan lokal dalam mengelola risiko di wilayah pegunungan.

"Kita diberi indera, nalar, dan nurani. Gunakan itu untuk membaca tanda-tanda alam, seperti awan, arah angin, dan pola kabut," kata dia.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI