Ia menjelaskan bahwa pengalaman Orwell tersebut bukan rekaan, melainkan kesaksian langsung atas kehancuran pasca-Perang Dunia II.
"Ungkapan itu tentu berangkat dari memori buruk ketika yang bersangkutan menyaksikan puing-puing kehancuran di akhir Perang Dunia Kedua di Jerman. Begitu kesimpulannya, kalau kita menyaksikan dan menjelajahi kehancuran dan penderitaan manusia yang sangat ekstrim," ungkap SBY.
Mengutip sejarah revolusi di Prancis, SBY menyebut pemimpin-pemimpin seperti Louis XIV dan Louis XVI yang menempatkan diri di atas hukum, menjadi contoh nyata kegagalan yang harus dihindari oleh pemimpin masa kini.
"Bahkan dikatakan 'L'état c'est moi', negara adalah saya, hukum adalah saya, konstitusi adalah saya, keadilan adalah saya, suara rakyat adalah saya, jangan-jangan mengatakan Tuhan adalah saya. Ini yang sejarah melakukan koreksi terus-menerus dan terjadi di banyak belahan bumi,” bebernya.
Penutup refleksi SBY pun menekankan pentingnya berpikir strategis dan humanis dalam pengambilan keputusan pemimpin.
Ia mengutip pesan moral dari Gene Roddenberry yang menegaskan bahwa kekuatan sejati suatu bangsa terletak pada kemampuannya menjaga perdamaian.
"The strength of a civilization is not measured by its ability to fight wars, but rather by its ability to prevent them," kutipnya.
Dengan segala tantangan global yang ada, SBY berharap pemimpin masa kini tidak hanya menjadi pengambil kebijakan, tetapi juga pembawa nilai-nilai kemanusiaan dan penjaga peradaban.
"Deep thinking, melihat lebih jauh, dan bertindak lebih bijak. Kita memerlukan cara berpikir yang lebih beradab, more civilized, lebih berakar dalam sejarah. Tetapi juga berani memproyeksikan masa depan," pungkasnya.
Baca Juga: SBY Sentil Pemimpin: Jangan Main-Main dengan Kekuasaan, Negara Bisa Hancur