Suara.com - Deteksi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) kini makin canggih, berkat bantuan kecerdasan buatan (AI) dan citra satelit resolusi tinggi. Namun, teknologi saja tidak cukup. Diperlukan kolaborasi nyata di tingkat tapak untuk benar-benar mencegah bencana ini.
Hal ini ditegaskan oleh Robi Deslia Waldi, peneliti dari IPB University sekaligus anggota Regional Fire Management Resource Center Southeast Asia (RFMRC-SEA), dalam diskusi daring FOLU Talks yang digelar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Rabu (6/8).
“Deteksi dini berbasis AI dan komunitas itu penting. Karena semua kembali ke bagaimana teknologi digunakan dan dipahami oleh masyarakat di lapangan,” ujar Robi Deslia Waldi, seperti dikutip dari ANTARA baru-baru ini.
Menurut Robi, kecerdasan buatan telah banyak digunakan untuk memprediksi hotspot (titik api) dengan menganalisis cuaca, kelembapan tanah, dan tutupan lahan.
AI ini mendukung teknologi satelit seperti Landsat, VIIRS, dan Sentinel-2 yang selama ini dipakai untuk pemantauan jarak jauh.
Namun, keakuratan deteksi tetap perlu dikonfirmasi langsung di lapangan.
![Helikopter water bombing VN8416 milik BNPB melintas dengan latar pohon yang meranggas saat memadamkan api kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di lahan gambut Desa Gambut Jaya, Muaro Jambi, Jambi, Rabu (30/7/2025). [ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/foc]](https://media.suara.com/pictures/original/2025/07/30/39005-karhutla-di-muaro-jambi-kebakaran-hutan-dan-lahan-di-muaro-jambi.jpg)
“AI bisa memprediksi, tapi yang bisa memastikan apakah itu benar-benar api atau tidak ya masyarakat lokal. Tanpa mereka, respon bisa terlambat,” kata Robi.
Mengejar FOLU Net Sink 2030: Bukan Hanya Target, Tapi Tanggung Jawab
Pemerintah Indonesia menargetkan sektor kehutanan dan penggunaan lahan menjadi penyerap emisi bersih (net sink) pada 2030. Ini berarti sektor ini harus menyerap lebih banyak emisi dibandingkan yang dilepaskan, setara -140 juta ton CO ekuivalen.
Baca Juga: Karhutla di Muaro Jambi Masih Membara, 270 Hektar Lahan Terbakar
Kebakaran hutan dan lahan, terutama di lahan gambut, menjadi ancaman serius terhadap target ini. Karenanya, menurut Robi, deteksi dini dan respons cepat harus disertai integrasi data dari berbagai sumber, riset aplikatif yang inklusif, dan pelibatan generasi muda serta komunitas lokal.
“Arah strategis ke depan adalah kombinasi teknologi dan partisipasi masyarakat. Tanpa itu, target FOLU Net Sink akan sulit dicapai,” ujarnya.
Data KLHK melalui sistem SiPongi menunjukkan bahwa luas area terbakar memang menurun drastis dibandingkan puncak 2015, ketika 2,6 juta hektare terbakar. Meski sempat naik di 2019, tren cenderung menurun hingga 2024. Namun tahun ini, indikasi kebakaran kembali muncul, dengan 8.594 hektare terbakar hanya sampai Juni 2025.
“Penurunan bukan berarti aman. Sekali lengah, kebakaran bisa kembali meluas. Tahun ini saja, di semester pertama sudah 8.500-an hektare yang terbakar,” kata Robi