Digadang-gadang sebagai super-holding atau badan pengelola dana strategis untuk proyek-proyek prioritas nasional, termasuk pangan, Danantara kerap menjadi subjek perdebatan.
Sebagian kalangan mengkhawatirkan potensi sentralisasi kekuasaan dan kurangnya transparansi dalam pengelolaan dana jumbo yang berada di bawah kendalinya.
Pengunduran diri figur penting seperti Joao dengan alasan kekurangan dana justru menjadi ironi yang memperkuat sentimen negatif tersebut.
Pengunduran diri Joao Angelo, dengan narasi permintaan maaf langsung kepada Presiden, bisa dibaca sebagai sebuah manuver politik cerdas sekaligus pesan keras.
Ia seolah ingin menegaskan bahwa masalahnya bukan pada visi Presiden Prabowo, melainkan pada barisan "pembantu-pembantu" di sekelilingnya yang gagal menerjemahkan visi tersebut menjadi aksi nyata.
Permintaan maaf yang ditujukan kepada Prabowo, alih-alih kepada dewan komisaris atau menteri terkait, menempatkan isu ini langsung di meja Presiden dan memaksanya untuk meninjau kembali efektivitas aparaturnya.
Pada akhirnya, mundurnya Joao Angelo De Sousa Mota lebih dari sekadar berita korporasi.
Ini adalah cermin retaknya komunikasi dan komitmen dalam implementasi salah satu program andalan pemerintah.
Apakah ini pertanda hati nurani yang tak bisa kompromi dengan sistem yang lumpuh oleh birokrasi, atau sekadar puncak kekecewaan atas janji anggaran yang tak kunjung cair, menjadi pertanyaan besar yang kini menggantung di atas program kedaulatan pangan era Prabowo.
Baca Juga: Prabowo Mendadak Panggil Kepala BPPIK Usai Dirut Agrinas Mundur, Ada Apa?