Demo Pati Berujung Petaka: Rumah Warga Diterjang Gas Air Mata, Regulasi Polri Mandul?

Rabu, 13 Agustus 2025 | 20:30 WIB
Demo Pati Berujung Petaka: Rumah Warga Diterjang Gas Air Mata, Regulasi Polri Mandul?
Gas air mata nyasar ke permukiman warga di sekitar Alun-Alun Pati saat chaos di Demo Pati, Rabu (13/8/2025). (X.com)

Suara.com - Kericuhan yang mewarnai aksi demonstrasi besar di Pati, Jawa Tengah, Rabu (13/8/2025) tidak hanya berhenti di Alun-Alun.

Bagi warga yang tinggal di sekitarnya, demo tersebut menyisakan trauma dan ketakutan ketika asap pekat gas air mata yang ditembakkan aparat justru menyasar hingga ke dalam rumah mereka, membahayakan anak-anak dan lansia yang tak tahu menahu soal tuntutan massa.

Di tengah upaya pembubaran paksa massa yang menuntut mundurnya Bupati Sudewo, kepulan asap pedih itu terbawa angin, merangsek masuk ke gang-gang perkampungan.

Warga yang sedang beraktivitas normal di dalam rumah sontak panik. Dampaknya dirasakan langsung oleh mereka yang paling rentan.

Seorang warga, ibu Parman, yang tinggal sekitar 200 meter dari pusat aksi, menceritakan kepanikannya.

"Saat kejadian, anak saya yang masih balita batuk-batuk dan matanya memerah. Kami sekeluarga panik karena asapnya masuk ke dalam rumah," ungkapnya dikutip Rabu.

Kesaksian ini menjadi bukti nyata bahwa dampak penanganan demo tidak hanya terbatas pada para peserta aksi, tetapi juga meluas ke warga sipil yang seharusnya dilindungi.

Situasi ini memicu pertanyaan krusial yang terus berulang setiap kali insiden serupa terjadi: Apakah aparat kepolisian memiliki dan mematuhi Prosedur Tetap (SOP) yang mempertimbangkan keselamatan warga sekitar?

Aturan di Atas Kertas vs Realita Brutal di Lapangan

Baca Juga: Ironi Demo Pati: Dipuji Elegan Berakhir Anarkis, Politisi PKB Soroti Kegagalan Komunikasi Bupati

Meskipun aparat berdalih penggunaan gas air mata adalah langkah terakhir untuk membubarkan massa yang ricuh, penembakan yang tidak terarah dan mengabaikan kondisi lingkungan sekitar menunjukkan adanya masalah mendasar.

Arah angin dan kepadatan permukiman seharusnya menjadi faktor pertimbangan utama sebelum peluru gas air mata dilontarkan.

"Kami mengerti polisi harus membubarkan massa, tetapi seharusnya ada antisipasi agar warga tidak menjadi korban. Kami berharap hal seperti ini tidak terulang," ujar seorang tokoh masyarakat setempat.

Secara regulasi, penggunaan kekuatan oleh kepolisian diatur dalam Peraturan Kapolri (Perkap) No. 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian.

Peraturan ini menekankan tiga asas utama: legalitas (sesuai hukum), nesesitas (kebutuhan), dan proporsionalitas (keseimbangan antara ancaman dan tindakan).

Penembakan gas air mata yang asapnya masuk ke rumah warga jelas melanggar asas proporsionalitas dan nesesitas.

Tindakan tersebut tidak lagi proporsional ketika membahayakan balita dan warga yang tidak terlibat. Insiden ini mengingatkan publik pada tragedi Kanjuruhan, di mana penggunaan gas air mata di ruang tertutup menjadi pemicu kematian massal.

Meski konteksnya berbeda—ruang terbuka versus tertutup—benang merahnya sama: penggunaan gas air mata yang serampangan dan mengabaikan keselamatan sipil.

Adakah Sanksi Hukum Bagi Aparat?

Personel kepolisian menembakkan gas air mata ke arah massa usai terjadi kericuhan unjuk rasa di depan Kantor Bupati Pati, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Rabu (13/8/2025). [ANTARA FOTO/Aji Styawan/nym]
Personel kepolisian menembakkan gas air mata ke arah massa usai terjadi kericuhan unjuk rasa di depan Kantor Bupati Pati, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Rabu (13/8/2025). [ANTARA FOTO/Aji Styawan/nym]

Pertanyaan mengenai pertanggungjawaban hukum bagi aparat yang menyebabkan warga sipil menjadi korban selalu mengemuka.

Secara teoretis, ada dua jalur yang bisa ditempuh.

Pertama, melalui mekanisme internal Polri, yaitu sidang Kode Etik Profesi Polri (KEPP).

Anggota yang terbukti melanggar SOP dan bertindak tidak profesional dapat dijatuhi sanksi disiplin, mulai dari teguran, penundaan pangkat, hingga pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH).

Kedua, melalui jalur pidana umum jika tindakan tersebut memenuhi unsur kelalaian yang menyebabkan orang lain luka atau meninggal dunia, sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Namun, pembuktian di ranah pidana seringkali jauh lebih sulit, terutama dalam situasi chaos seperti pembubaran massa.

Faktanya, akuntabilitas seringkali berhenti di level aturan.

Insiden gas air mata yang "nyasar" di Pati ini menjadi pengingat pahit bahwa regulasi di atas kertas belum menjamin perlindungan bagi warga.

Selama tidak ada evaluasi serius dan sanksi tegas yang memberikan efek jera, insiden serupa hanyalah bom waktu yang menunggu untuk terulang di kota-kota lain.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI