Suara.com - Keadilan kembali terasa seperti barang mewah yang tak terjangkau nalar publik.
Kalimat sinis "Enaknya Jadi Setnov" yang dulu hanya candaan di media sosial, kini menjadi kenyataan pahit.
Setya Novanto, mantan Ketua DPR RI dan dalang di balik mega korupsi e-KTP yang merugikan negara Rp 2,3 triliun, resmi menghirup udara bebas.
Ironisnya, kebebasan ini ia dapatkan tepat di momentum sakral perayaan HUT ke-80 RI.
Pada Sabtu (16/8/2025), Setnov melenggang keluar dari Lapas Sukamiskin, Jawa Barat, dengan status bebas bersyarat.
Ia hanya menjalani sekitar 7 tahun 9 bulan dari vonis awal 15 tahun penjara yang dijatuhkan kepadanya.
Kabar ini sontak meledakkan kembali amarah publik yang sempat terpendam, membangkitkan memori akan drama "tiang listrik" dan dagelan hukum yang pernah ia pertontonkan.
Lalu, bagaimana bisa hukuman seberat itu mendapat "diskon" besar-besaran?
Otoritas terkait memberikan penjelasan prosedural.
Baca Juga: Setya Novanto Sudah Bebas, Kapan Paulus Tannos Diekstradisi ke Indonesia?
Kunci utamanya terletak pada putusan Peninjauan Kembali (PK) oleh Mahkamah Agung pada Juli 2025. Lewat putusan inilah, vonis Setnov dipangkas dari 15 tahun menjadi 12 tahun 6 bulan.
“Setnov bebas bersyarat setelah putusan PK memangkas hukumannya dari 15 tahun menjadi 12 tahun 6 bulan. Hitungan dua pertiga masa pidana sudah terpenuhi,” ujar Kepala Kanwil Ditjen PAS Jabar, Kusnali.
Untuk memahami mengapa kabar ini memicu amarah, mari kita putar kembali ingatan pada skala kejahatan yang telah ia lakukan.
Proyek e-KTP, yang seharusnya menjadi tonggak modernisasi data kependudukan, ia sulap menjadi ladang bancakan raksasa.
Negara dirugikan Rp 2,3 triliun—angka yang cukup untuk membangun ribuan sekolah atau rumah sakit.
Vonis awal pada 2018 sebenarnya sudah cukup berat yakni 15 tahun penjara, denda Rp 500 juta, dan kewajiban membayar uang pengganti sebesar USD 7,3 juta.
Hak politiknya untuk menduduki jabatan publik pun dicabut. Namun, putusan PK tidak hanya memangkas masa kurungan, tetapi juga mengurangi masa pencabutan hak politiknya.
Bagi publik, pembebasan ini adalah sebuah antiklimaks yang menyakitkan. Di saat rakyat kecil bisa dipenjara bertahun-tahun karena pencurian ringan, seorang koruptor triliunan rupiah bisa mendapatkan keringanan dan kembali menikmati hidup.
“Enggak ada [wajib lapor]. Karena kan denda subsidair sudah dibayar. Karena sudah melalui proses asesmen, dan yang bersangkutan berdasarkan hasil pemeriksaan PK itu sudah melampaui waktunya,” ujar Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan, Agus Andrianto, menambah daftar "kemudahan" yang diterima Setnov.
Lebih dari sekadar bebasnya satu orang, peristiwa ini adalah cerminan dari wajah hukum di Indonesia yang seringkali terasa bengkok.
Ini adalah bukti nyata dari adagium "hukum itu tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas".
Pembebasan Setya Novanto menjadi preseden buruk yang sekali lagi menggerus kepercayaan publik pada sistem peradilan, meninggalkan satu pertanyaan besar yang menggema, yakni jika begini akhirnya, siapa lagi yang akan takut untuk korupsi?