Suara.com - Pemerintah membunyikan alarm tanda bahaya bagi sektor kesehatan nasional. Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Pratikno mengakui bahwa negara telah gagal memenuhi janji konstitusionalnya untuk memberikan layanan kesehatan merata.
Penyebabnya, Indonesia kini dalam kondisi darurat kekurangan 70.000 dokter spesialis hingga tahun 2032, sebuah krisis yang menurutnya harus diatasi dengan cara-cara luar biasa.
Dalam pidatonya di sebuah konferensi internasional di Jakarta, Rabu (27/8/2025), Pratikno tidak menutupi betapa gentingnya situasi ini. Ia menyerukan agar kebutuhan dokter spesialis ini bisa dipenuhi dalam waktu sesingkat mungkin.
“Kita membutuhkan lebih banyak dokter, kita butuh mereka secepatnya. Butuh banyak, butuh secepatnya, dan butuh para dokter ada di mana-mana,” kata Pratikno.
Negara Gagal Penuhi Janji Konstitusi
Lebih jauh, Pratikno menegaskan bahwa masalah ini bukan lagi sekadar soal angka, tetapi sudah menyangkut kegagalan negara dalam menunaikan amanat konstitusi. Ketimpangan sebaran dokter yang parah adalah buktinya.
“Ini lebih dari sekedar ketimpangan, tetapi kita belum mampu memenuhi janji kita, janji konstitusional kita untuk memberikan pelayanan kesehatan yang merata bagi seluruh masyarakat Indonesia," ujarnya.
"Oleh karena itu, kita harus bertindak cepat dengan cara-cara yang extraordinary, tidak dengan biasa-biasa saja," tegas Pratikno.
Untuk mengatasi krisis ini, pemerintah mendorong percepatan pendidikan dokter spesialis melalui sistem dua jalur (dual track system). Pertama, University-based; jalur klasik melalui universitas yang dikoordinasikan Kemendikti Saintek, dan Hospital-based; jalur baru berbasis rumah sakit yang dikoordinasikan oleh Kemenkes.
Baca Juga: Menko PMK Minta BAZNAS Bantu Program Pemerintah Pakai Zakat
Pratikno menegaskan, kedua jalur ini bukanlah untuk bersaing, melainkan untuk saling melengkapi dan mengalikan kapasitas produksi dokter spesialis.
“Antara university-based dan hospital-based untuk pendidikan spesialis ini bukan kompetisi, tetapi adalah komplementaritas. Bukan saling berkompetisi, tetapi saling mengisi," jelasnya.
Meski mendorong percepatan, Pratikno memberikan syarat mutlak: kualitas tidak boleh ditawar. Menurutnya, harus ada standarisasi akreditasi bersama agar mutu lulusan dari kedua jalur ini tetap setara.