- Refly Harun mengatakan obat bagi penyakit bangsa ini adalah adili Jokowi dan makzulkan Gibran
- Roy Suryo menyebut Gibran lebih menonjol sebagai beban di pemerintahan Prabowo
- Melihat situasi ini, para pengamat mengusulkan dua jalur penyelesaian, jalur konstitusional atau jalur ekstrakonstitusional.
Suara.com - Ketegangan politik di Indonesia sempat mencapai titik didih. Berbagai kalangan masyarakat dan pengamat politik menyoroti kondisi bangsa yang dianggap “abnormal,”.
Dalam sebuah diskusi di akun YouTube Sinkos Indonesia, Roy Suryo, Refly Harun, dan Faizal Assegaf menyuarakan keprihatinan mendalam terhadap arah politik negara saat ini.
Salah satu pandangan ekstrem yang muncul adalah penegakan keadilan terhadap pemerintahan sebelumnya.
"Obat bagi penyakit bangsa ini adalah menurut saya adili Jokowi dan makzulkan Gibran. Karena ini itu obat mujarab," ujar Refly Harun, yang disambut dengan penegasan, “Oh iya, jelas,” dikutip Rabu (3/9/2025).
Diskusi tersebut juga menyoroti isu kerusuhan yang terjadi di berbagai daerah.
“Eskalasi kekerasan tidak sebesar pada tahun 98, tapi ternyata walaupun eskalasinya di tempat-tempat tertentu, penjarahan sudah terjadi dan di depan aparat, di depan kamera yang jauh lebih canggih dibandingkan tahun 98,” ujar Refly Harun.
Ini menunjukkan bahwa kemarahan rakyat sudah mencapai tingkat yang sulit dikendalikan oleh elit politik manapun.
Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang baru saja terbentuk, juga menjadi sorotan tajam. Banyak yang mempertanyakan ketahanannya di tengah gejolak ini.
“Saya malah berpikir, waduh nih tidak sekuat yang kita bayangkan kalau begini caranya. Artinya dengan sedikit goyangan maka pemerintahan seperti sudah goyang begini,” ungkap Refly Harun.
Baca Juga: Apa Isi Desakan PBB untuk Pemerintahan Prabowo dan Gibran?
Bahkan, ada yang menulis bahwa Prabowo “kok sendirian ya” dalam menghadapi situasi ini, tanpa dukungan kuat dari lingkaran dalamnya.
Peran Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka juga tidak luput dari kritik, “Gibran menurut saya ketimbang dia itu aset justru lebih menonjol sebagai beban,” ucap Roy Suryo.
“Karena dia beban maka ya Prabowo harus menghilangkan beban ini,” lanjut Roy Suryo.
Kehadiran Gibran dinilai memperuncing polarisasi, terutama karena ia terlihat “hanya nyaman di kelompoknya sendiri,” bahkan menerima kelompok relawan yang justru menyuarakan penggulingan Prabowo.
“Loh, itu kan aneh kan,” ujar Roy Suryo
Beberapa peristiwa lain yang mengindikasikan ketidakstabilan juga diangkat, seperti pertemuan elit partai dengan Presiden Prabowo tanpa didampingi Wakil Presiden, serta insiden pembagian sembako oleh Bobby Nasution di Medan yang dianggap sebagai “politik pencitraan tinggi sekali,” di tengah krisis.
Aksi demo yang terjadi belakangan ini, yang awalnya dipicu oleh tunjangan rumah dinas DPR, kemudian berbelok setelah tragedi meninggalnya Mas Afan Kurniawan, menunjukkan adanya “tumpangan” isu-isu yang lebih besar.
“Ini adalah hasil dari akumulasi 10 tahun praktik kekuasaan Jokowi,” ucap Refly Harun.
Merujuk pada tumpukan ketidakadilan, peristiwa di Rempang kata dia, pengambilan hak-hak rakyat tanah, masalah ijazah palsu, masalah korupsi di mana-mana, partai politik dilumpuhkan, dikriminalkan, ulama-ulama.
Melihat situasi ini, para pengamat mengusulkan dua jalur penyelesaian, jalur konstitusional atau jalur ekstrakonstitusional.
Namun, jalur konstitusional dianggap sulit karena memerlukan konsolidasi politik yang kuat, sementara partai politik dianggap “tidak benar-benar punya cita-cita untuk membangun peradaban yang lebih baik untuk Indonesia dan cenderung mementingkan keuntungan sendiri.”
Oleh karena itu, muncul gagasan tentang “sekretariat bersama,” sebagai wadah konsolidasi tokoh-tokoh nasional dan civil society.
“Saatnya kekuatan di luar kekuasaan berkumpul, boleh dong silaturahmi, menghentikan anarkisme, untuk menghentikan saling prasangka,” kata Faizal Assegaf.

Diharapkan, sekber ini dapat menjadi motor penggerak perubahan dengan “mengundang semua komponen society, tokoh-tokoh untuk bersama-sama mengerjakan isu ini.”
Sebagai penutup, ditekankan pentingnya “memisahkan antara rezim 10 tahun dengan rezim yang baru ini.”
Jika tidak, luka dan masalah rezim lalu akan terus menumpuk, menghambat kemajuan bangsa.
“Negeri ini baru aman kalau seandainya clear dulu pemisahan antara rezim 10 tahun dengan rezim yang baru ini,” ujar Refly Harun.
Dengan eskalasi yang diperkirakan akan terus meningkat, harapan disematkan pada Presiden Prabowo untuk “segera sadar dan mengambil langkah tegas,” ucap Roy Suryo.
Langkah lain, menurut Refly Harun, adalah dengan “mengadili Jokowi dan makzulkan Gibran,” sebagai simbol tidak membiarkan kesalahan dan kebrutalan masa lalu, serta menyelamatkan bangsa dari pemimpin yang tidak memiliki kapasitas.
Sekretariat Bersama diharapkan dapat menjadi jembatan komunikasi bagi semua pihak untuk bersama-sama menemukan solusi atas krisis yang melanda bangsa.
Reporter: Safelia Putri