Suara.com - Proses seleksi beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) mendapat sorotan tajam dari Komisi XI DPR RI.
Dalam rapat dengar pendapat dengan eselon I Kementerian Keuangan pada Kamis (11/9/2025), Primus Yustisio, anggota Komisi XI dari Fraksi PAN, menilai pelaksanaan seleksi beasiswa tersebut tidak transparan, terutama pada tahap akhir.
Karena alasan inilah ia lantas mendesak agar prosesnya dibuat lebih sederhana, terbuka, dan memprioritaskan masyarakat miskin.
Primus mengungkapkan bahwa banyak warga miskin yang berprestasi kesulitan bahkan gagal mengakses beasiswa LPDP.
Menurutnya, program beasiswa pemerintah seharusnya mengutamakan prinsip keadilan dengan memberikan prioritas lebih besar kepada kelompok masyarakat yang kurang mampu.
"Kan itu beasiswa, satu harus berprestasi, kedua tidak mampu. Tapi kalau saya boleh tekankan, yang tidak mampu dulu, Pak," kata Primus.
Ia menambahkan bahwa seringkali mereka yang berprestasi secara akademik berasal dari keluarga dengan kondisi finansial di atas rata-rata. Oleh karena itu, perlu ada pemilahan yang lebih adil dalam proses seleksi.

Persyaratan yang Dianggap Berbelit dan Kurang Terbuka
Primus juga menyoroti kurangnya transparansi data penerima beasiswa LPDP yang dilaporkan kepada publik. Selama ini, LPDP hanya menyajikan data agregat secara keseluruhan tanpa rincian yang lebih jelas.
Baca Juga: Rahayu Saraswati Mundur dari DPR, Gerindra Hormati, Tapi...
"LPDP ini kurang transparan kalau menurut saya. Ini kan cuma laporan kepada publik setiap tahunnya, cuma agregat saja. Tapinya ke mana, dari mananya, nah ini perlu ke depan dibuka," tegasnya.
Selain itu, ia juga menilai persyaratan yang ditetapkan LPDP terlalu memberatkan dan berbelit, terutama bagi masyarakat di daerah atau dari keluarga sederhana.
Hal ini menyebabkan banyak mahasiswa berprestasi dari kalangan tersebut gagal mendapatkan kesempatan.
Eks sineas itu juga mengungkapkan pengalaman kerabatnya yang berprestasi namun kesulitan mendapatkan beasiswa LPDP.
Padahal, kerabatnya tersebut berhasil mendapatkan tawaran beasiswa dari luar negeri, tepatnya dari Leiden University untuk studi hukum.
Namun, beasiswa dari luar tersebut datang dengan konsekuensi bahwa ia harus tinggal dan bekerja di negara tersebut setelah lulus.
"Dia pintar, dapat beasiswa hukum di Leiden. Ini enggak abal-abal, Pak, tapi dia anak yatim. Saya mau bantu, tapi kebutuhannya besar. Akhirnya diambil perusahaan sana dengan perjanjian nanti jadi warga negara sana. Dia terima walau nangis-nangis," tutur Primus, menyoroti ironi bahwa potensi anak bangsa harus "direlakan" ke negara lain akibat sulitnya akses beasiswa di dalam negeri.
Dalam rapat tersebut, Primus mendesak evaluasi menyeluruh terhadap tata kelola LPDP dan meminta agar data penerima beasiswa dibuka secara rinci kepada publik. Hal ini dinilai penting untuk mencegah kecurigaan dan memastikan rasa keadilan.
"Rasa keadilan itu harus dirasakan oleh setiap lapisan. Kita buka-bukaan saja, biar masyarakat percaya. Jangan sampai akses beasiswa hanya bisa didapatkan yang punya jalur tertentu," pungkasnya.