Raja Keraton Solo Pakubuwono XIII Wafat, Akhir Perjalanan Sang Pemersatu Takhta Mataram

Bangun Santoso Suara.Com
Minggu, 02 November 2025 | 18:45 WIB
Raja Keraton Solo Pakubuwono XIII Wafat, Akhir Perjalanan Sang Pemersatu Takhta Mataram
Mendiang Raja Keraton Solo PB XIII Hangabehi. PB XIII wafat di Rumah Sakit Indriarti, Sukoharjo, Minggu (2/11/2025) pagi. [Soloaja]
Baca 10 detik
  • Sri Susuhunan Pakubuwono XIII meninggal dunia pada usia 77 tahun setelah menjalani perawatan medis
  • PB XIII dikenang sebagai tokoh kunci yang berhasil mengakhiri konflik dualisme kepemimpinan di Keraton Solo dengan saudaranya, KGPH Tejowulan, pada tahun 2012
  • Selama lebih dari dua dekade memimpin, ia berjuang menjaga kehormatan keraton dan melestarikan tradisi serta kesenian luhur peninggalan Mataram

Suara.com - Kabar duka menyelimuti Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Sri Susuhunan Pakubuwono (PB) XIII, raja yang memimpin Keraton Solo, mengembuskan napas terakhirnya pada usia 77 tahun pada Minggu (2/11/2025) pagi. Wafatnya sang raja menjadi penutup babak penting dalam sejarah takhta Mataram, terutama perannya dalam menyatukan kembali keluarga keraton setelah konflik dualisme yang berkepanjangan.

Informasi mengenai wafatnya PB XIII dikonfirmasi oleh kuasa hukumnya, KPAA Ferry Firman Nurwahyu Pradotodiningrat. Ia menjelaskan bahwa sang raja tutup usia setelah menjalani perawatan medis intensif sejak 20 September lalu. Kepergiannya meninggalkan duka mendalam, bukan hanya bagi keluarga besar keraton, tetapi juga bagi masyarakat Surakarta dan pemerhati budaya Jawa.

Pakubuwono XIII, yang lahir dengan nama Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hangabehi pada 28 Juni 1948, dikenang sebagai sosok pemimpin yang berjuang memulihkan wibawa dan kehormatan keraton di tengah masa-masa sulit. Warisan terbesarnya adalah keberhasilannya mengakhiri perpecahan yang melanda Kasunanan Solo pasca wafatnya sang ayah, PB XII.

Konflik Takhta dan Rekonsiliasi Bersejarah

Perjalanan PB XIII menuju takhta tidaklah mulus. Wafatnya PB XII pada 11 Juni 2004 memicu perseteruan internal yang serius. Dua putra mahkota, KGPH Hangabehi dan adiknya, KGPH Tejowulan, sama-sama diklaim sebagai penerus yang sah. Puncaknya, terjadi dualisme kepemimpinan yang membelah keluarga dan para abdi dalem.

Sebagian keluarga menobatkan Tejowulan sebagai raja pada 31 Agustus 2004. Namun, mayoritas keluarga besar melalui Forum Komunikasi Putra Putri (FKPP) PB XII menetapkan Hangabehi sebagai penerus dan menggelar upacara penobatan pada 10 September 2004. Peristiwa ini sempat memicu ketegangan hingga bentrokan fisik di lingkungan keraton.

Setelah bertahun-tahun berselisih, titik terang rekonsiliasi akhirnya tercapai pada tahun 2012. Melalui mediasi yang melibatkan DPR RI dan Pemerintah Kota Surakarta di bawah kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi), kedua kubu sepakat berdamai.

Tejowulan secara legawa mengakui Hangabehi sebagai Paku Buwono XIII yang sah. Sebagai imbalannya, Tejowulan dianugerahi gelar Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Panembahan Agung dan diangkat menjadi Mahapatih, mengakhiri dualisme yang mencoreng citra Keraton Solo.

Sosok Penjaga Tradisi Leluhur

Baca Juga: Ritual Tolak Bala! Keraton Solo Gelar Mahesa Lawung dengan Kepala Kerbau

Sebagai putra sulung dari 35 anak PB XII dari enam istri, Hangabehi tumbuh dalam lingkungan yang kental dengan nilai-nilai luhur budaya Jawa. Selama masa pemerintahannya, ia dikenal sebagai pemimpin yang rendah hati namun tegas dalam menjaga adat istana.

PB XIII secara konsisten mendorong pelestarian tradisi melalui penyelenggaraan upacara adat, pembinaan abdi dalem, serta pelestarian kesenian klasik seperti gamelan dan Tari Bedhaya Ketawang—tarian sakral yang hanya dipentaskan untuk raja yang bertahta.

Wafatnya PB XIII menandai akhir dari sebuah era. Ia akan selalu dikenang sebagai raja yang berhasil menyatukan kembali warisan leluhur Mataram dan meneguhkan nilai-nilai luhur budaya Jawa agar tetap lestari bagi generasi mendatang.

×
Zoomed

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI