Jika Gugatan RCTI Dikabulkan, Publik Tak Bisa Tampil Live di Media Sosial

Liberty Jemadu Suara.Com
Kamis, 27 Agustus 2020 | 06:15 WIB
Jika Gugatan RCTI Dikabulkan, Publik Tak Bisa Tampil Live di Media Sosial
Ilustrasi aplikasi-aplikasi media sosial (Shutterstock).

"Komposisi definisi penyiaran, dalam hal ini kan broadcasting, kenapa (harus) diatur karena menggunakan frekuensi. Sedangkan untuk penyiaran yang dilakukan dengan menggunakan koneksi internet, maka tidak dalam ranah publik yang harus diatur dalam undang-undang," papar Enda, Kamis.

Jika yang dipermasalahkan oleh RCTI adalah seputar perizinan perorangan untuk melakukan penyiaran, kata Enda, sebenarnya pasal tersebut tidak perlu ditinjau ulang, atau bahkan hingga digugat.

"Ya menurut saya tidak dikabulkan (Mahkamah Konstitusi). Seperti yang sudah saya sebutkan, untuk penertiban pembuat konten, harus jelas dulu apa ditertibkan. Saya melihat (RCTI) mungkin keberatannya kan lebih karena hak cipta ya. Nah kalau soal hak cipta, ya perlu reinforcement disitu kalau memang terjadi pelanggaran hak cipta," lanjut Enda.

Seandainya disahkan Mahkamah Konstitusi, Enda memperkirakan akan ada masalah-masalah baru yang ditimbulkan karena telah melanggar kebebasan berekspresi.

"Ya. Bisa saja (melanggar kebebasan berekspresi)," kata Enda.

Digugat karena tak atur OTT

RCTI dan iNews TV mendaftarkan gugatan uji materi UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran ke MK pada Juni lalu. Pemohon mendalilkan Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran memberi perlakuan yang berbeda antara penyelenggara penyiaran konvensional yang menggunakan spektrum frekuensi radio dengan penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan over the top (OTT).

Menurut INews dan RCTI, perlakuan berbeda itu lantaran tidak terdapat kepastian hukum penyiaran yang menggunakan internet masuk ke dalam definisi penyiaran seperti diatur Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran atau tidak.

Sementara sampai saat ini OTT tidak terikat dalam UU Penyiaran sehingga tidak harus memenuhi syarat berbadan hukum Indonesia serta memperoleh izin siaran seperti penyelenggara siaran konvensional.

Baca Juga: Kominfo: Ada Masalah Hukum Jika Youtube Diatur UU Penyiaran

Selain itu juga tidak wajib tunduk pedoman perilaku penyiaran dan standar program penyiaran dalam membuat konten siaran agar tidak dikenakan sanksi oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

Sebelumnya terdapat polemik Ketua KPI Agung Suprio yang akan turut mengawasi Youtube dan Netflix pun disebut membuktikan Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran multitafsir.

Layanan OTT yang menyediakan, gambar, audio, video dan/atau gabungannya disebut pemohon masuk dalam kategori siaran apabila merujuk pada definisi siaran yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU Penyiaran.

Untuk itu, pemohon meminta Mahkamah Konstitusi menyertakan penyedia layanan siaran melalui internet turut diatur dalam Pasal 1 ayat 2 UU Penyiaran.

"Perkembangan internet yang begitu pesat telah melahirkan berbagai macam platform digital," ujar pemohon.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI