Untuk menjinakkan narasi separatis dari kelompok pemberontak, pemerintah sering mengaitkan orang Papua dengan citra negatif; baik sebagai teroris atau sebagai orang primitif.
Rasisme semacam ini adalah kenyataan sehari-hari bagi orang Papua, di media, dan dalam kehidupan nyata. Mereka sering menghadapi cercaan rasis seperti “monyet”.
Kerusuhan tahun 2019 di seluruh Papua dipicu oleh bahasa rasis semacam ini.
Pendekatan terbaru pemerintah dalam mendandani Nagita dalam kampanye acara olahraganya adalah strategi lain untuk melemahkan nilai dan narasi Papua.
Perspektif Papua
Jika pemerintah ingin memenangkan hati orang Papua, maka mereka harus fokus pada perspektif orang Papua.
Nagita berbusana nuansa Papua tidak menunjukkan bahwa pemerintah menghargai orang Papua, itu hanya merampas budaya mereka. Kampanye tersebut adalah serangan terhadap Papua karena mereproduksi hierarki dominan subjek yang-berkulit-terang sebagai yang berdaulat atas subjek yang-berkulit-gelap sebagai perhiasan.
Keputusan pemerintah untuk menggunakan tokoh masyarakat berkulit terang dan berambut lurus membuat nilai-nilai lokal yang gelap dan keriting tidak terlihat.
Seharusnya pemerintah harus menggunakan tokoh masyarakat Papua, seperti penyanyi Nowela Elizabeth Auparay, atlet angkat besi Lisa Rumbewas atau selebriti Putri Nere.
Baca Juga: Mahasiswa Papua Geruduk Kantor KONI, Protes Nagita Slavina jadi Ikon PON XX
Artikel ini sebelumnya tayang di The Conversation.