NU dan Muhammadiyah Luntur di Perkotaan Karena Kurang Responsif dan Mesra dengan Penguasa

Liberty Jemadu Suara.Com
Selasa, 15 Februari 2022 | 06:15 WIB
NU dan Muhammadiyah Luntur di Perkotaan Karena Kurang Responsif dan Mesra dengan Penguasa
Studi Studi Hamzah Fansuri, kandidat doktor pada University of Heidelberg, Jerman menemukan dua alasan mengapa pengaruh NU dan Muhammadiyah luntur di perkotaan. Foto: Umat Muslim melaksanakan salat Idul Fitri 1439 H di Jatinegara, Jakarta Timur, Jumat (15/6).
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Dalam wadah yang lain, komunitas-komunitas Muslim perkotaan juga terlibat dalam penggalangan dana untuk bencana dan masalah kemanusiaan lainnya seperti yang dilakukan oleh komunitas Kajian Musawarah dan Pemuda Hijrah. Mereka juga terlibat dalam dalam aksi amal dan filantropi seperti Dompet Dhuafa dan Aksi Cepat Tanggap (ACT).

Sebagian kaum Muslim perkotaan ini telah belajar untuk meninggalkan kehidupan yang mereka anggap tidak Islami, dan kemudian berusaha mendalami Islam melalui forum-forum yang difasilitasi oleh komunitas dan yayasan di luar jaringan NU atau Muhammadiyah.

Mereka kerap menghadiri pengajian komunal yang rutin dengan tema-tema yang berkaitan dengan syariah Islam menjadi pokok bahasan. Pengkhotbah yang terlibat dalam ritual ini kebanyakan tidak berafiliasi dengan Muhammadiyah atau NU namun mereka memiliki jutaan pengikut di platform media sosial, terutama YouTube dan Instagram.

Pendakwah Oki Setiana Dewi, pendakwah mualaf Felix Siauw, dan pendakwah gaul Hanan Attaki adalah beberapa contohnya.

Bagi sebagian Muslim yang tinggal di kota, kebutuhan mereka hanyalah menghadiri pengajian-pengajian biasa yang mudah dipahami dan dicerna. Ini sedikit berbeda dengan Muhammadiyah dan NU yang dalam pengajiannya cenderung menawarkan materi-materi yang lebih kompleks termasuk mengajak jemaah untuk berpikir kritis dan reflektif.

Alasan lainnya adalah kebutuhan khusus kaum urban Muslim dalam menghadapi tantangan kehidupan sehari-hari terutama di kalangan anak muda.

Dalam konteks itu, komunitas-komunitas Muslim perkotaan dengan pandai menerapkan strategi kebudayaan untuk menawarkan nilai-nilai Islami dalam menghadapi setiap masalah kehidupan.

Mereka berupaya menjangkau anak muda misalnya dengan kegiatan yang memfasilitasi perjodohan Islami (taauruf), memberikan konsultasi masalah-masalah anak muda, serta mengajak komunitas-komunitas hobi seperti pemain bola, musisi dan pencinta sepeda dan skateboard untuk menjalani hidup sesuai syariat Islam.

Meminjam konsep dari sosiolog Celia Lury, fenomena tersebut adalah cermin dari budaya yang didasarkan pada konsumsi atas sesuatu. Komunitas Muslim baru di wilayah perkotaan ini, dengan demikian, tampak berani mengungkapkan identitas Islam baru di mana mereka diharuskan untuk mengkonsumsi apa pun yang berlabel Islam yang sebenarnya menjadikan mereka sasaran empuk pasar. Ini termasuk pakaian, film, musik, pendidikan dan layanan perbankan dan lain sebagainya.

Baca Juga: Pengepungan Aparat di Desa Wadas, PBNU Minta Polisi Gunakan Cara Humanis dan Hindari Kekerasan

Kedekatan NU dan Muhammadiyah dengan kekuasaan

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI