Di masanya, dwifungsi ABRI begitu lekat dengan berbagai kontroversi. Kebijakan ini dianggap sebagai bentuk militer yang membatasi demokrasi dan kebebasan politik masyarakat sipil.
Pada masa kejayaannya, dwifungsi ABRI dianggap sebagai penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia. Sebelum akhirnya dihapus pada tahun 2004 lalu, Polri telah lebih dulu berpisah dari ABRI.
Selama masa dwifungsi ABRI yaitu antara tahun 1974 hingga 1978 lalu, aksi mahasiswa dilakukan untuk menolak tugas ganda militer di politik.
Jargon 'Kembalikan ABRI kepada Rakyat' santer beredar dan menuntut agar Soeharto turun dari jabatannya. Hal ini menjadi tanda dimulainya masa reformasi setelah orde baru.
Di tahun-tahun setelahnya, Indonesia mulai beralih ke sistem demokrasi yang terbuka. Sayangnya, perdebatan mengenai militer dan sipil masih terus berhembus hingga sekarang ini.
Peringatan serius SBY untuk dwifungsi ABRI

Meskipun telah resmi mati di era reformasi, Presiden keenam Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sempat memberi peringatan tegas mengenai anggota militer yang ingin aktif di dunia politik.
Dirinya mengingatkan agar anggota militer aktif perlu untuk keluar dari militer sebelum kemudian bergabung dengan institusi pemerintahan. Hal ini berdasarkan pengalamannya ketika menjabat sebagai Ketua Reformasi ABRI.
Setelah bertahun-tahun berlalu, ancaman dwifungsi ABRI kembali muncul. Terlebih setelah rencana pemerintah untuk melakukan RUU TNI yang kemudian mendapat penolakan besar-besaran dari masyarakat.
Baca Juga: Siapa Pemilik Hotel Fairmont Jakarta? Lokasi Rapat DPR Bahas RUU TNI yang Tuai Kontroversi