"Inilah cara kita membangun bisnis yang berdaya saing global, sekaligus mencerminkan kecerdasan serta ambisi luhur kita," lanjut dia.
Proses menjadi sebuah Frontier Firm berlangsung dalam tiga fase utama. Pertama, AI berperan sebagai asisten yang membantu mengerjakan pekerjaan repetitif dan meningkatkan efisiensi kerja.
Selanjutnya, agen AI tersebut mulai mengambil peran yang lebih spesifik sebagai rekan kerja digital untuk mendukung aktivitas seperti riset atau perencanaan proyek.
Di fase akhir, agen AI mulai mengelola alur kerja secara mandiri. Sementara manusia berfokus pada strategi dan turun tangan hanya jika diperlukan.
Dalam laporan Microsoft, sekitar 63 persen pemimpin bisnis di Indonesia menyatakan bahwa produktivitas harus ditingkatkan. Tapi 88 persen tenaga kerja, baik karyawan maupun para pemimpin bisnis, mengaku kekurangan waktu atau energi untuk menyelesaikan pekerjaan mereka.
Untuk mengatasi hal ini, 95 persen pemimpin bisnis di Indonesia menyatakan mereka yakin akan penggunaan agen AI sebagai anggota tim digital pendukung, guna memperluas kapasitas kerja dalam satu hingga dua tahun ke depan.
Lebih dari separuhnya atau sekitar 52 persen responden menjadikan penambahan kapasitas tim dengan tenaga kerja digital sebagai prioritas utama, lalu diikuti peningkatan kapasitas melalui kegiatan upskilling.
Karyawan di perusahaan yang mengadopsi model Frontier Firm di Indonesia lebih dari dua kali lipat lebih optimis bahwa perusahaan tempat mereka bekerja sedang berkembang. Ini jadi entimen yang lebih besar dibandingkan rata-rata angka global dan di Asia-Pasifik.
Bahkan, hampir tiga kali lipat dari mereka yang percaya diri dalam menghadapi beban kerja yang besar dan merasa memiliki kesempatan untuk fokus ke pekerjaan yang penting.
Baca Juga: Multifungsi dan Bertenaga, 4 Tablet Kelas Atas dengan Pengalaman Seperti PC
Dharma memaparkan, 2025 akan dikenang sebagai tahun lahirnya Frontier Firm, ketika para perusahaan bersiap menjalani transformasi digital di mana agen AI menjadi bagian penting dalam tim kerja.
Demi mengintegrasikan AI secara efektif dalam ketenagakerjaan, perusahaan perlu mulai mengadopsi AI dengan merekrut tenaga kerja digital, menentukan mana pekerjaan yang dapat diotomatisasi, dan memperlakukan AI sebagai bagian penting dari tim.
Namun, tidak hanya berhenti pada pengadopsian saja. Ia menyarankan kalau perusahaan juga perlu menentukan keseimbangan antara manusia dan AI (human-agent ratio) agar AI benar-benar mampu melengkapi kreativitas dan penilaian manusia.
Bentuk investasi lainnya, seperti penanaman literasi AI dan upskilling berkelanjutan bagi karyawan akan menjadi kunci agar mereka mampu mengelola dan berkolaborasi dengan AI secara efektif.
“Meskipun AI menjanjikan perubahan pada cara kita bekerja, dampak nyatanya baru akan terasa ketika setiap karyawan diberdayakan untuk memimpin bersama teknologi ini. Di Indonesia, kesenjangan pemahaman terhadap AI antara pemimpin (87%) dan karyawan (56%) bukan sekadar angka—ini adalah panggilan bagi kita untuk bertindak," beber dia.
"Inilah saatnya kita berinvestasi untuk manusia, mengembangkan keterampilan baru, dan membangun budaya kerja di mana setiap orang siap menjadi agent boss. Dengan mengatasi kesenjangan ini, kita tidak hanya sekadar mengadopsi teknologi, tetapi juga membuka seluruh potensi yang dimiliki tenaga kerja kita, serta membangun masa depan kerja yang lebih inklusif dan inovatif,” pungkasnya.