Rencana Registrasi SIM Pakai Data Biometrik Sembunyikan 3 Risiko Serius

Liberty Jemadu Suara.Com
Sabtu, 20 Desember 2025 | 11:39 WIB
Rencana Registrasi SIM Pakai Data Biometrik Sembunyikan 3 Risiko Serius
Rencana pemerintah menerapkan registrasi SIM berbasis biometrik pengenalan wajah memiliki tiga risko, mulai dari keamanan data pribadi hingga penyalahgunaan data. [Dok Dana]
Baca 10 detik
  • Penerapan registrasi SIM berbasis biometrik wajah mulai 1 Januari 2026 berisiko, mitigasi pelanggaran privasi wajib disiapkan sebelum implementasi.
  • Risiko utama data biometrik adalah ketidakmampuan penggantian seumur hidup jika terjadi kebocoran data pengguna.
  • Kebijakan baru berpotensi mengabaikan kelompok rentan serta risiko penyalahgunaan data untuk pengawasan massal atau profiling.

Suara.com - Rencana pemerintah menerapkan registrasi SIM berbasis biometrik pengenalan wajah untuk pelanggan baru pada 1 Januari 2026 dinilai berisiko. Sebelum diterapkan sangat penting untuk menyiapkan mitigasi pelanggaran privasi yang sangat mungkin terjadi.

Komisioner Ombudsman RI 2016-2021, Alamsyah Saragih mengatakan setidaknya ada tiga risiko keamanan data dan pelanggaran privasi dalam kebijakan yang diumumkan pekan ini oleh Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi).

Alamsyah menjelaskan biometrik pengenalan wajah adalah bukan kata sandi atau password yang bisa dengan mudah diganti secara berkala. Sekali digunakan, maka data biometrik tersebut akan terus dipakai dan tak bisa diubah.

“Pertama biometrik bukan password yang bisa diganti. Jadi sekali dia masuk, tidak bisa diperbaiki, kemudian dia akan dipakai berkali-kali, itu ada resiko,” beber Alamsyah dalam diskusi bertajuk Registrasi Pelanggan Seluler Menggunakan Data Kependudukan Biometrik Face Recognition di kanal YouTube Kemkomdigi TV, Kamis (18/12/2025).

Konsekuensinya, lanjut Alamsyah, jika terjadi kebocoran risikonya akan sangat serius. Karena data biometrik tidak bisa diganti seperti ketika terjadi kebocoran data password atau kata sandi.

“Tapi kalau sidik jari dan face recognition, makanya seumur hidup data kita bisa dikumpulkan oleh orang lain,” ia mewanti-wanti.

Kedua, lanjut Alamsyah, penggunaan data biometrik berisiko mengabaikan kelompok-kelompok masyarakat rentan seperti mereka yang lanjut usia, difabel, pekerja informal hingga masyarakat yang tinggal di daerah terpencil atau 3T.

“Ada keterbatasan akses biometrik di wilayah-wilayah tertentu. Kalau ini tidak dimitigasi, ini akan jadi sumber keributan. Saya enggak membayangkan terjadi bencana, handphone hilang, mau register tercepat, orang terus kemudian harus pakai face recognition, sementara sistemnya belum jalan,” kata Alamsyah.

Terakhir adalah risiko penyimpangan misi (mission creep). Dalam skenario ini, data biometrik bisa disalahgunakan oleh pihak berwenang untuk pengawasan massal, seperti yang dilakukan di China. Ada juga potensi teknologi ini dimanfaatkan untuk profiling politik dan ekonomi, untuk kepentingan kampanye politik maupun ekonomi.

Baca Juga: Komdigi Libatkan Dukcapil-BSSN untuk Registrasi eSIM Pakai Data Biometrik

Dalam mission creep terdapat pembatasan independesi melalui penyalahgunaan algoritma (algorithm abuse). Dia menilai kini independensi telah dipengaruhi oleh algorithm abuse, bahkan beberapa literatur sudah menunjukkan, makin akurat registrasi dan secure, semakin besar peluangnya untuk pemanfaatan ini.

“Kita mau bikin registrasi itu bagus, tapi justru mempermudah perilaku-perilaku seperti ini. Dengan kata lain, registrasi yang akurat itu tidak cukup, dia harus disertai dengan kemampuan mengidentifikasi titik-titik rawannya dan memitigasi,” tutup Alamsyah.

Sebelumnya rencana pemerintah menggunakan registrasi SIM dengan data biometrik ini juga dikritik oleh praktisi hukum David M. L. Tobing. Ia menilai perlindungan data harus menjadi prioritas sebelum kebijakan diterapkan secara luas.

"Indonesia punya catatan panjang soal kebocoran data di berbagai platform digital," kata David dalam acara bertajuk “Ancaman Kejahatan Digital serta Urgensi Registrasi Pelanggan Seluler Berbasis Biometrik Face Recognition” yang digelar Komdigi bersama Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) di Jakarta pekan ini.

Dia mengungkapkan, semakin tingginya pengguna internet dan data seluler, yang seiring meningkatnya potensi kejahatan.

"Biometrik memang dibutuhkan tetapi kesiapan regulasi dan sistem harus benar-benar matang," tutup David.

×
Zoomed

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI