Suara.com - Riset dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mengungkapkan masih ada 19,34 persen atau sekitar 55 juta orang Indonesia belum mendapatkan akses internet di tahun 2025.
Menurut riset APJII bertajuk Survei Penetrasi Internet dan Perilaku Penggunaan Internet 2025, tingkat penetrasi internet Indonesia mencapai 80,66 persen dari total jumlah penduduk 284.438.900 di tahun 2025.
Artinya, jumlah pengguna internet Indonesia mencapai 229 juta orang, tepatnya 229.428.417. Sedangkan 55.010.483 sisanya masih belum mendapatkan akses internet.
"Masih ada hampir 20 persen masyarakat kita belum mendapatkan internet," kata Ketua Umum APJII, Muhammad Arif saat konferensi pers di Jakarta International Convention Center (JICC) pada Rabu (6/8/2025).
Arif mengatakan bahwa pengembangan internet Indonesia masih terkendala infrastruktur telekomunikasi yang menumpuk dan tidak merata. Padahal saat ini jumlah penyedia layanan internet (internet service provider atau ISP) sudah mencapai sekitar 1.320.
"Ini jadi PR kita bersama, bagaimana kita menciptakan regulasi yang benar-benar dapat mendorong bukan hanya pemerataan, tapi juga kualitas internet di Indonesia," beber dia.
Sementara itu Sekretaris Umum APJII, Zulfadly Syam menjelaskan setidaknya ada beberapa kendala yang dihadapi perusahaan penyedia layanan internet (internet service provider atau ISP) untuk mengembangkan industrinya di Indonesia.
Faktor pertama yakni persaingan yang terlalu tinggi dengan persentase 26 persen. Kedua adalah regulasi dan kebijakan pemerintah yang kurang mendukung dengan 25,67 persen.
"Jadi memang kendala sekarang untuk pertumbuhan industri ini adalah di persaingan yang terlalu tinggi. Nah kemudian regulasi tentunya, jadi memang ada dua hal ini," kata Zulfadly.
Baca Juga: Jumlah Pengguna Internet Indonesia 2025 Tembus 229 Juta, Tingkat Penetrasi 80,66 Persen
Ia menjelaskan, regulasi ini juga mencakup kebijakan di Pemerintah Daerah. Menurut dia, beberapa dari mereka kadang kurang memahami peta jalan yang sudah ditentukan oleh Pemerintah Pusat, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi).
"Jadi bagaimana kami mau membangun infrastruktur kalau terlalu banyak regulation charge," keluh dia.
Alasan ketiga adalah biaya pemasangan dan pemeliharaan infrastruktur yang tinggi dengan 21,67 persen. Keempat adalah sulitnya infrastruktur yang menjangkau akses layanan terutama pada area remote dan rural dengan 17,33 persen.
Faktor kelima yaitu terbatasnya akses permodalan dan kurangnya kesadaran konsumen dengan 3,67 persen. Lalu terakhir kurangnya sumber daya manusia (SDM) berkualitas tinggi dengan persentase 3 persen.