Dalam penerapan IGRS, setiap game akan dievaluasi berdasarkan sejumlah aspek, mulai dari unsur kekerasan, darah, penggunaan senjata, konten seksual, simulasi perjudian, hingga interaksi online antar pemain.
Tak hanya itu, sistem juga menilai apakah game menampilkan rokok, alkohol, narkoba, atau zat adiktif lainnya. Game yang mengandung unsur pornografi, perjudian, atau konten yang melanggar hukum Indonesia akan diberi status unrated, artinya tidak boleh beredar secara legal.
“Dengan adanya label usia, orang tua akan lebih tenang karena bisa tahu mana game yang cocok dimainkan oleh anak-anak,” ujar Meutya Hafid, menambahkan bahwa kebijakan ini juga mendorong literasi digital yang lebih sehat di kalangan masyarakat.
Meskipun sudah resmi diluncurkan, penerapan IGRS masih menghadapi tantangan. Berdasarkan data situs igrs.id, hingga akhir 2025 baru terdapat 12 game dan 6 penerbit (publisher) yang terdaftar secara resmi. Jumlah itu masih jauh dari potensi industri game Indonesia yang terus berkembang pesat.
Pemerintah berharap dengan penerapan wajib pada 2026, lebih banyak pengembang lokal yang akan mendaftarkan produknya dan mengikuti prosedur klasifikasi usia.
Selain itu, Komdigi juga berencana meningkatkan sosialisasi ke sekolah, komunitas gamer, dan pengembang independen agar sistem ini lebih dikenal luas.
Peluncuran IGRS dianggap sebagai langkah strategis dalam menyeimbangkan pertumbuhan industri game dengan perlindungan sosial. Pemerintah ingin memastikan bahwa kemajuan digital di Indonesia tidak hanya mengedepankan inovasi, tetapi juga keamanan pengguna, terutama anak-anak.
Kontributor : Gradciano Madomi Jawa
Baca Juga: Disambut Antusias, Game Ghost of Yotei Laris Manis