Menurut Septian, hasil laba yang lain digunakan untuk melakukan reinvestasi terhadap peralatan atau kelengkapan lab yang lain, salah satunya adalah untuk melakukan genome sequencing.
"Perlu diketahui, ketika awal operasi GSI ini menggunakan fasilitas tanah dan bangunan secara gratis yang diberikan salah satu pemegang saham," ucapnya.
Septian tidak menampik bahwa dirinya kurang hati-hati dalam mengingatkan Luhut terkait dengan saham GSI sehingga muncul potensi konflik kepentingan. Namun, kondisi pada GSI didirikan saat itu membutuhkan keputusan yang cepat terkait peningkatan kapasitas test PCR ini.
Septian menegaskan keputusan Luhut sebagai koordinator PPKM Jawa Bali diambil didasarkan usulan atas analisis data dan situasi sehingga kondisi Covid19 di Jawa Bali bisa lebih baik.
"Tidak ada sedikit pun keraguan dalam hati saya terkait hal ini. Tidak ada satupun keputusan yang diambil Pak Luhut yang kami usulkan karena mengedepankan kepentingan GSI, termasuk usulan mengenai PCR untuk penumpang pesawat," kata Septian.
Terkait harga PCR, menurut Septian, tidak bisa dibandingkan situasi saat ini dan situasi pada awal-awal pandemi, bagaimana susahnya mencari alat PCR, ekstraksi RNA, reagen, sampai harus rebutan dengan negara lain. Saat ini, ucapnya, kondisi suplainya jauh lebih baik, sehingga ketersediaan alat dan reagen lebih banyak dan lebih murah. Selain itu, terkait harga PCR, hal tersebut bukan wewenang Luhut dalam memutuskan.
"Evaluasi dilakukan secara berkala oleh Kemenkes dan BPKP. Semuanya melalui proses pemeriksaan di BPKP untuk kemudian memberikan masukan kepada Kemenkes lalu kemudian diputuskan," tuturnya.
Septian mengaku malas mengungkapkan donasi atau bantuan yang diberikan Luhut dalam penanganan pandemi. Ia selalu ingat pesan Luhut, kalau melakukan kebaikan dan bantuan tidak perlu diingat-ingat supaya tidak merasa memiliki budi kepada orang lain, tetapi kalau kita melakukan hal yang buruk, harus diingat supaya tidak mengulangi.
"Namun, dalam kasus GSI ini, saya merasa framingnya dan tuduhannya terlalu gila sehingga saya perlu menuliskan cerita dari sisi kami atas apa yang terjadi," terangnya.
Baca Juga: Varian Delta AY di Malaysia, Wajib PCR Sebagai Syarat Naik Pesawat Kembali Dipertimbangkan
Septian menilai dampak Varian Delta pada Juli merupakan pengalaman yang menyakitkan untuk bangsa ini. Oleh karenanya, saat melihat risiko peningkatan kasus, ia ingin ada langkah preventif, bukan reaktif seperti yang dilakukan sebelumnya.
"Karena kalau ada peningkatan kasus dan harus ada pengetatan macam PPKM Darurat, biayanya sangat besar. Hasil hitungan kami, biaya langsung untuk perekonomian setiap satu minggu dilakukan PPKM Darurat sekitar Rp 5,2 triliun, itu belum termasuk korban jiwa yang tidak bisa dihitung secara moneter," ucapnya.
Septian berharap penjelasan ini dapat memberikan informasi kepada publik agar memahami konteks yang terjadi.
"Selain itu, kondisi dahulu jauh berbeda dengan sekarang. Mohon jangan melupakan sejarah yang ada," kata Septian menambahkan.