Septian mengatakan akibat proses ekstraksinya masih manual, masing-masing lab paling hanya bisa melakukan 100 tes sampai 200 tes per hari atau jauh dari target yang sebanyak 700 tes sampai 1.000 tes per hari. Septian menyebut keterbatasan suplai membuat Indonesia sulit mendapatkan ekstraksi RNA dari Roche dan memutuskan mencari merek lain yakni merek Qiagen dari Jerman.
"Kita pesan barangnya, namun ternyata mereka tidak bisa memenuhi reagennya. Alat ekstraksi RNA ini memang menggunakan closed system, artinya hanya bisa digunakan dengan reagen yang diproduksi mereka sendiri," kata Septian.
Selama beberapa bulan, lanjut Septian, lab-lab itu masih menggunakan ekstraksi RNA secara manual untuk test PCR. Septian dan tim mendapatkan satu perusahaan yang merupakan afiliasi salah satu universitas di Cina atau semacam badan usaha yang bergerak dibidang bioteknologi.
"Alat ekstraksi RNAnya harganya lebih murah, kira-kira 1/10 dari harga alat ekstraksi yang diproduksi Qiagen, meskipun kapasitasnya 1/3. Begitu juga harga reagen untuk ekstraksi RNAnya," ucapnya.
Yang lebih menarik, lanjut Septian, produsen Cina itu juga memproduksi reagen untuk PCR yang bisa digunakan baik dari LC 96 dan LC480 (kedua alat ini adalah open system). Dengan suplai dari Cina ini, Indonesia bisa memberikan donasi lebih banyak alat PCR dan ekstraksi RNA kepada lab-lab kampus itu.
Sebelum memutuskan beli, Septian meminta FKUI untuk melakukan pengujian terhadap barang-barang ini. Hasilnya di luar dugaan, cukup baik. Kata Septian, alat ekstraksi RNA mudah digunakan dan bisa melakukan ekstraksi dalam waktu satu jam. Reagen PCR pun ternyata memiliki sensitivitas yang lebih baik dibandingkan yang beredar di pasaran pada waktu itu.
"Awal Juni, barang-barang ini mulai datang ke Indonesia," ujarnya.
Kepada lab-lab kampus, Septian menyampaikan hanya akan mendukung mereka dengan alat PCR dan Alat Ekstraksi RNA beserta reagen-reagennya untuk 10 ribu test untuk masing-masing lab berdasarkan kecukupan donasi yang disumbangkan Luhut dan teman-temannya.
"Namun, karena kita menemukan suplai baru dari Cina, kita bisa mendukung untuk lebih banyak reagen. Pak Luhut kemudian juga menerima telepon dari teman-teman beliau di Cina yang mau menyumbang untuk penanganan Covid-19 di Indonesia sehingga kita bisa memperoleh lebih banyak reagen," tutur Septian.
Baca Juga: Varian Delta AY di Malaysia, Wajib PCR Sebagai Syarat Naik Pesawat Kembali Dipertimbangkan
Kata Septian, satu lab saat itu bisa menerima 30-50 ribu reagen PCR dan ekstraksi RNA untuk melakukan test ini. Setelahnya, ia meminta lab-lab tersebut harus bisa mandiri lantaran donasi yang terbatas.
Septian mengaku menceritakan hal ini agar publik tahu betapa sulitnya situasi dan keterbatasan test PCR saat itu serta banyak pihak yang bergotong royong untuk membantu pemerintah meningkatkan kapasitas PCR saat itu.
Septian mengatakan Kementerian BUMN, melalui Erick dan Budi Sadikin membeli cukup banyak alat PCR saat itu. Lalu Luhut dan teman-temannya juga memberikan donasi yang nilainya cukup besar untuk meningkatkan kapasitas PCR di banyak fakultas kedokteran di Indonesia. Ia meyakini banyak pihak lain yang juga berusaha keras membantu dengan berbagai cara supaya kapasitas test covid19 melalui PCR di Indonesia pada waktu itu bisa ditingkatkan.
"Kami tidak ada memikirkan untung-rugi waktu itu," tegasnya.
Dalam perjalanan mencari alat PCR untuk donasi ke para lab, lanjut Septian, salah satu teman Luhut mengajak ikut berpartisipasi dalam pendirian lab test covid-19 yang memiliki kapasitas tinggi yakni lima ribu tes per hari dan bisa melakukan genome sequencing (belakangan ini kemudian sangat berguna untuk mendeteksi varian delta dan layanan ini diberikan gratis kepada Kemenkes untuk mendeteksi varian baru).
"Usul saya ke Pak Luhut, kita ikut berpartisipasi untuk pendirian lab ini. Maka tanpa pikir panjang, Pak Luhut menyampaikan ke saya, kita bantu lah To mereka ini. Akhirnya melalui Toba Sejahtera (yang memiliki dana untuk kebutuhan ini), Pak Luhut ikut mendukung pendirian lab tersebut. Maka lahirlah GSI, setelah itu, kami tidak monitor lagi mengenai GSI ini," tuturnya.