Hal sama juga dialami petani Kampar Riau, Syafrudin yang juga hanya bisa gigit jari setelah kebun sawitnya tak bisa ikut PSR. Penyebabnya sama dengan yang dirasakan Priyono.
Padahal, dia dan teman-temannya merupakan transmigran kiriman Presiden Soekarno pada tahun 1965 silam. Dia bersama 79 warga lainnya dikirim dari Pulau Jawa.
"Walau kakek istri saya ini datang ke Riau tahun 1965, tapi sertifikat kebunnya baru keluar tahun 1985," cerita lelaki 53 tahun ini.
Tak hanya di Riau, di Kabupaten Asahan Sumatera Utara pun terjadi. Syarifudin Sirait kaget bercampur bingung.
Kebun sawit yang sudah dia kelola selama puluhan tahun, tiba-tiba dinyatakan masuk dalam kawasan hutan. Dia tidak sendirian, 44 petani plasma lain di Pasir Mandoge mengalami hal yang sama.
Hal yang sama terjadi di Kabupaten Labuhanbatu. Yang membuat Syarifudin tak habis pikir, ternyata hal tersebut juga dialami oleh 1.750 petani plasma di seluruh Indonesia. Tentu saja semua keberatan, Sebab, kebun PIR rata-rata sudah dikerjakan mulai tahun 1980-an.
“Lahan PIR pasti tidak sembarangan mengenai status lahan. Tempat kami, sudah keluar SHM-nya pada tahun 1992. Yang paling lambat tahun 1994," tegasnya.
Melihat kondisi ini, Pakar Hukum Kehutanan dan Pengajar Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia Jakarta, Dr. Sadino, SH, MH menegaskan, pentingnya perlindungan hak atas tanah dalam penetapan kawasan hutan.
Adalah hak yang telah dilekatkan atas tanah pada masyarakat seperti hak milik (HM), hak guna bangunan (HGB), hak guna usaha (HGU), dan hak-hak lainnya wajib dilindungi negara.
Baca Juga: Cegah Karhutla, Menteri KLH Minta Pelaku Usaha Perkebunan Koordinasi dengan GAPKI
“Pasalnya, hak-hak tersebut merupakan hak konstitusional sesuai Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Meskipun, jika itu masuk dalam penguasaan hutan, negara harus memperhatikan hak-hak tersebut. Negara tetap wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi hak masyarakat yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional,” tegas Sadino.
Kementrian Kehutanan harus melakukan pengukuhan kawasan hutan secara benar agar tidak melanggar hak konstitusi. Tidak boleh sewenang-wenang dengan mengabaikan hak atas tanah. Ingat bahwa Putusan MK 45/PUU-IX/2011, Putusan MK No. 34/PUU-IX/2011 dan Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 membatasi kewenangan pemerintah dalam hal ini Menteri Kehutanan.
Dia menilai masalah ini muncul karena belum adanya satu peta nasional yang memadukan semua sektor yang terbagi dalam banyak kementerian.
Ditambahkan, peta Tata Guna Hutan Kesepakatan baru muncul pada 1982 hingga 1986, sedangkan peta adiministrasi wilayah sebagai dasar pemberian hak atas tanah dan batas administratif sudah ada lebih dulu. Apalagi kalau kehutanan hanya berargumen dengan peta penunjukan ya legitimasinya diragukan.
"Overlapping peta pasti terjadi. Ini yang harus dicatat. Seringkali salah dipahami seolah Hak Atas Tanah seperti HGU mesti ada pelepasan kawasan hutan. Padahal kalau RTRW Provinsi atau RTRW Kabupaten/Kota bukan kawasan hutan ya tidak diperlukan pelepasan kawasan hutan,” tegasnya. Apalagi di masa sebelum tahun 2000-an masih sedikit investor kebun.
Menurut Dr. Sadino, UU Kehutanan mendefinisikan “hutan negara”, dan “kawasan hutan negara”, disana jelas di luar hak atas tanah, maka jelas pengertiannya.