Suara.com - Gelombang penolakan terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 yang mengatur sektor pertembakauan terus menguat, kali ini datang dari kalangan pekerja industri hasil tembakau (IHT).
Mereka menilai sejumlah pasal dalam beleid tersebut, serta wacana kenaikan Cukai Hasil Tembakau (CHT), berpotensi memukul industri dan mengancam keberlangsungan hidup jutaan buruh yang bergantung pada sektor ini.
Ketua Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI) Daerah Istimewa Yogyakarta, Waljid Budi Lestariyanto, menyuarakan penolakan keras terhadap regulasi ini dan mendesak pemerintah untuk melakukan deregulasi secara menyeluruh.
"Pastinya setuju dengan adanya deregulasi, apalagi pasal-pasal itu betul-betul membatasi ruang gerak ekosistem pertembakauan," ujarnya, seperti dikutip, Rabu (25/6/2025).
![Pekerja melinting tembakau di Aceh Besar. [Dok.Antara]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2024/07/13/94767-pekerja-tembakau.jpg)
Waljid menjelaskan bahwa meskipun tujuan awal dari PP 28/2024 adalah mengatur pertembakauan, namun isi pasal-pasalnya justru berpotensi mematikan industri tersebut.
Ia menyoroti beberapa poin kontroversial, termasuk pembatasan terhadap iklan, promosi, dan sponsor produk tembakau, serta wacana penerapan kemasan rokok polos tanpa merek dagang dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) aturan turunan dari PP tersebut.
Lebih lanjut, Waljid menegaskan bahwa PP ini kini juga dijadikan acuan untuk revisi berbagai peraturan daerah mengenai Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Menurutnya, ini semakin mempersempit ruang gerak industri dan membuat aktivitas distribusi dan pemasaran produk menjadi sulit.
"Itu ‘kan terkait ruang gerak industri hasil tembakau semakin tidak bisa bergerak, artinya jualan saja susah. Apalagi mau promosi dan lain-lain, susah," jelas dia.
Dampaknya, kata Waljid, akan terasa langsung pada sisi penjualan yang menurun, memaksa perusahaan melakukan efisiensi besar-besaran. Hal ini berisiko menimbulkan pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam jumlah signifikan.
Baca Juga: Pemerintah Sebut Butuh Peran Swasta dalam Program Makan Bergizi Gratis
"Efisiensi itu tidak hanya di lini produksi, tapi juga menyasar sumber daya manusia. Ini bisa memicu pemutusan hubungan kerja (PHK)," jelasnya.
Atas dasar itulah, SPSI-RTMM telah menolak kebijakan pertembakauan dalam PP 28/2024 sejak awal disahkan. Mereka pun tengah menyiapkan surat resmi kepada Presiden RI, Prabowo Subianto, untuk menyampaikan aspirasi penolakan terhadap pasal-pasal tembakau dalam regulasi tersebut.
Selain aspek non-fiskal, Waljid juga menyoroti kebijakan fiskal berupa kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau yang dinilainya tidak tepat dilakukan dalam kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih.
"Daya beli masyarakat turun, kemudian masyarakat itu akan tetap merokok tapi dengan rokok yang lebih murah. Sekarang lagi marak yang tanpa cukai itu, yang ilegal," jelasnya.
Ia menegaskan bahwa kombinasi antara pembatasan regulatif yang ketat dan kenaikan tarif cukai justru kontraproduktif. Bukannya menurunkan konsumsi, kebijakan ini justru mendorong masyarakat untuk beralih ke produk rokok ilegal yang lebih murah, sehingga mengakibatkan kerugian pada negara akibat hilangnya penerimaan dari cukai resmi.
Waljid pun menyerukan agar pemerintah tidak hanya fokus pada pengetatan aturan dan kenaikan tarif, melainkan juga memperkuat penegakan hukum untuk memberantas peredaran rokok ilegal secara konsisten.